Jika diamati lebih jauh, ada sesuatu yang kurang dalam aspek "pembinaan" di Dakwah Kampus. Selama ini pembinaan di Dakwah Kampus hanya terfokus pada konteks bahasan pergerakan dakwah saja. kajian fiqh sungguh telah dijauhkan dalam lingkaran pembinaan. padahal jika pembinaan ini memang merujuk pada gerakan Hasan Al-Bana dengan Ikhwanul musliminnya. Gerakan IM atau yang di representasikan sebagai gerakan tarbiyah (di indonesia) pada dasarnya sama sekali tidak menjauhkan kajian fiqh dalam konteks pembinaannya.
Banyak juga para aktivis dakwah kampus yang seolah-olah sudah terbius pola pikirnya oleh sebuah dogma, "jangan bahas fiqh, fiqh mah hal yang sensitif. Dalam masalah fiqh terlalu banyak perbedaan, yang jika dibahas bisa berefek retaknya ukhuwah kader. Jadi, biarkan kader mengikuti apa yang ia yakini". Dogma seperti ini yang nyatanya tumbuh subur dikalangan ADK. Padahal, ini adalah dogma yang salah dan perlu diluruskan. Karena pada hakikatnya dalam semua amalan, amalan tersebut akan diterima, jika tata caranya sesuai dengan apa yang rasul contohkan, bukan karena amalan tersebut mengikuti apa yang diyakininya.
Namun, realitanya saat ini sebagian besar ADK cenderung menghindar dari pembahasan fiqh ini, mereka lebih memilih sikap taqlid. Mereka sudah terbiasa melakukan sebuah amalan atas dasar kebiasaan yg selama ini mereka lakukan, orangtua mereka lakukan ataupun perintah dari ustadz atau murabbi mereka lakukan. Kalaupun bukan kebiasaan, biasanya mereka sering mengatakan "soalnya kalau menurut murabbi saya nyuruh saya melakukan amalan ini, dan menurutnya amalan ini amalan yang baik"
Taqlid sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai sikap menirukan atau menerima aturan-aturan tertentu tanpa dasar dari Quran dan Sunnah (atau tanpa mengetahui dasarnya).¹
Seharusnya, jika seorang ADK hendak berbicara dan berpendapat dalam urusan agama, maka pendapat mereka harus berdasarkan dalil, bukan berdasarkan pendapat teman, saudara, ustadz, murabbi atau yang lebih parah didasarkan pada akal dan logika manusia. Dalil yg dimaksud disini direpresentasikan sebagai Quran dan Sunnah sebagai dalil primer, serta 'Ijma dan Qiyas sbgai dalil sekunder.
Tak bisa dipungkiri seorang ADK nyatanya adalah termasuk kedalam golongan orang-orang yang berpikir. Mereka dituntut untuk kritis dalam menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Kritis dalam banyak hal, termasuk dalam hal fiqh. Dalam kondisi saat ini, para ADK seharusnya merenung, bertanya dan berpikir terhadap semua aspek dari amalan yang mereka lakukan, apakah berdalilkan quran dan sunnah atau tidak.
"kenapa pendapat ustadz A mh gini, ustadz B mh gitu, apa dalilnya ? Apa dasarnya ?. Lalu kenapa saya ikut ustadz A, bukannya B ?"
Sehingga ADK yang memang termasuk kedalam golongan orang yg berpikir, tidak taqlid buta (ikut dan meniru suatu perbuatan tanpa mengetahui kenpa mereka harus mengikuti perbuatan tersebut). Taqlid buta ini termasuk hal yang terlarang bagi umat islam. Umat islam dituntut untuk bertanya jika tidak tahu. Namun yang perlu difahami, konteks bertanya disini adalah bertanya kepada orang-orang yang memang faham dan bukan hanya pada 1 orang, tapi hendaknya ditanyakan kebanyak orang yang lebih faham. Sehingga suatu ketidakpahaman yg ada bisa tercerahkan secara lebih komprehensif, karena penjelasan didapat dari beragam pendapat yang berdasarkan banyak sudut pandang dan dalil.
" Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semuanya akan diminta pertanggung jawabannya" (QS. 17 : 36)
Selain itu, kebanyakan dari ADK saat ini mengikuti secara buta pendapat-pendapat dari para Ustadz, Kyai atau murabbi mereka, dengan asumsi bahwa pendapat-pendapat Ustadz, Kyai atau murabbi mereka berdasarkan dan berasal dari Quran dan Sunnah. Padahal sikap berasumsi atau menduga-duga (zhan) jelas sangat dikecam oleh Hadits.
"Berhati-hatilah terhadap sikap menduga-duga (zhan), sebab sikap itu akan menggiringmu menjadi pendusta besar" (muttafaq 'alaihi)
Ketika taqlid buta terlarang, maka ittiba adalah salah satu jalan yang seharusnya bisa diambil. Taqlid dan ittiba jelas berbeda. Secara sederhana ittiba adalah menerima dan mengikuti aturan-aturan tertentu dari orang lain yang berdasarkan Quran, Hadits, Ijma' dan Qiyas.²
Seorang ADK yang ittiba' (seorang muttabi') dalam rangka ittibanya harus bertanya tentang aturan-aturan yang berada melatarbelakangi sebuah ajaran islam dan tidak hanya bergantung pada satu madzhab atau pendapat. Selain itu juga, mutabbi' perlu bertanya dan berusaha memahami pertimbangan agama dalam urusan ritual keagamaannya.³
Seorang ADK yang sudah berusaha untuk ittiba' pada keberjalanannya akan dihadapkan pada pandangan-pandangan yang berbeda dari ulama fiqih, tentang suatu perkara (pandangan-pandangan tersebut telah diakui dan didasarkan pada Quran dan Sunnah). Maka dalam kasus tersebut, ADK diharapkan mampu "berijtihad sekadarnya" untuk memilih satu diantara pandangan-pandangan tersebut.
Sikap untuk berijtihad sekadarnya, ketika seorang ADK sudah ittiba (dalam artian sudah bersikap kritis terhadap suatu permasalahan), itu lebih terhormat dari pada bertaqlid buta. Muhammad bin Ali Assyaukani menyatakan bahwa, "Siapapun yang memiliki pengetahuan minimal dalam perundang-undangan atau permasalagan dapat menjadi mujtahid, dan bersikap taqlid merupakan perbuatan terlarang."⁴
Oleh karenanya dua jalan untuk menghindari sikap taqlid ini adalah ittiba' dan ijtihad.
Sehingga pada akhirnya kajian fiqh dalam pembinaan didalam dakwah kampus, mesti dilakukan dalam rangka menghindarkan kader dari sikap taqlid buta terhadap guru, ustadz atau murabbinya. Perlu di pahami juga konteks kajian fiqh disini bukan untuk menggiring ADK pada satu pemahaman fiqh saja. Namun lebih dari itu, kajian ini sangat penting demi tegak dan lurusnya pemahaman yang lurus terhadap semua aspek ibadah, sehingga para ADK mengetahui alasan dan dalil yang shahih kenapa mereka melaksanakan suatu amalan. Dan seharusnya para ADK tidak takut lagi dengan dogma, "jangan bahas fiqh, fiqh mah hal yang sensitif. Dalam masalah fiqh terlalu banyak perbedaan, yang jika dibahas bisa berefek retaknya ukhuwah kader. Jadi, biarkan kader mengikuti apa yang ia yakini".
Karena pada hakikatnya perpecahan bukan terjadi karena adanya perbedaan pendapat, namun perpecahan terjadi, itu tergantung pada kedewasaan berpikir dari kader dalam menyikapi perbedaan tersebut. Jika pada perbedaan tersebut seluruh pendapatnya berdasarkan dalil yang shahih, niscaya perpecahan tidak akan terjadi.
Wallahu'alam bis shawwab.
Referensi :
¹ Hassan, "Ringkasan Islam", 42; idem, "Halalkah bermadzhab?" (Bangil : 1956)
² A.Hassan, "Verslag Debat Taqlid' (Bangil : 1936)
³ Hassan, "Taqlid kepada Ulama", 389
⁴ Peters, " Idjtihad and Taqlid", 143
Oleh : Lutfhi Arif Fadillah
@Luthfi_ariff
O5-01-2016 21.28 WIB
¹ Hassan, "Ringkasan Islam", 42; idem, "Halalkah bermadzhab?" (Bangil : 1956)
² A.Hassan, "Verslag Debat Taqlid' (Bangil : 1936)
³ Hassan, "Taqlid kepada Ulama", 389
⁴ Peters, " Idjtihad and Taqlid", 143
Oleh : Lutfhi Arif Fadillah
@Luthfi_ariff
O5-01-2016 21.28 WIB
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)