Aku seorang lelaki yang memiliki sebuah perasaan. Ya, perasaan tentang keinginan untuk sebuah kebersamaan. Namun aku takut jika rasa itu salah untuk aku sampaikan. Dulu saat langit kelabu, jika tak ada tuhan yang menolongku mungkin saja rasa itu terjerumus pada hati yang sangat jauh dari kata baik. Aku bersyukur tuhan masih menjagaku.
Memiliki perasaan, itu memang niscaya. Tuhan membekali manusia dengan anugerah perasaan terbaik. Tak peduli manusia itu seorang berandal, preman, atau bahkan koruptor. Mereka semua memiliki perasaan akan keinginan untuk sebuah kebersamaan dengan sesiapa saja yang membuat meraka nyaman ketika ia berada di samping mereka.
Apalagi aku ? seorang manusia yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan dunia, yang sehari hari hanya menunggu datangnya senja, diiringi sebuah harapan tentang seseorang yang selalu kutunggu. Perasaanku tentang keinginan untuk sebuah keindahan kebersamaan sudah tentu sangat besar. Namun begitu, aku takut. Aku selalu takut untuk melangkah. Bayang kegelapan di masa lampau, seolah enggan beranjak dari lamunanku.
Padahal seharusnya, tak usahlah aku takut. Sebab memiliki rasa itu anugerah, dan anugerah itu keindahan bukan ? Bukankah rasa terbaik akan muncul dengan penjagaan yang baik pula ? Ya, aku sangat mempercayainya.
Aku meyakini, tuhan sang pemilik rasa pasti maha mendengar, maha tau tentang riuh gemuruhnya hati pada setiap hambaNya, dan maha mengerti akan aku yang sedang kacau dirundung rasa. Dan aku yakini tak ada alat canggih apapun yang bisa menyampaikan rasa ini selain melalui doa yang kupanjatkan pada tuhanku. Kalau bukan tuhan yang bisa menyampaikan rasa ini padamu, siapa lagi yang bisa?
Masa lalu tak selamanya dilewati dalam gelapnya kabut-kabut kehidupan. Namun mentari pagi kadang kala sanggup mengusir gelapnya kabut kehidupan itu, ialah Nur cahaya karya cipta sang maha agung.
Dia bukan siapa-siapa. Tak ada ikatan cinta antara aku dan dia. Aku dan dia hanya disatukan oleh ikatan persahabatan. Dulu aku dan dia selalu saling mendukung satu sama lain. Saling menolong, saling bertengkar namun langsung baikan, saling membully, juga saling menjaga.
Kita adalah satu, satu sebagai tubuh yang saling menguatkan. Kini walau raga dibatasi jarak namun tak ada jarak dalam hati kita. Hati kita selalu bertemu dalam setiap doa, dalam setiap sujud pada heningnya sepertiga malam.
Namun, entah mengapa kini aku mulai merasakan beda, getar getar jiwa muncul saat terakhir aku dan dia bertemu, tepat 1 minggu yang lalu, saat kita saling menumpahkan rindu karena lama tak berjumpa. Ada yang berbeda pada sorot matanya, sejuk dan penuh kelembutan. Wajahnya benar menggambarkan keteduhan seorang wanita yang berbalut ketegaran dalam jiwa.
Dia sahabatku membuatku memiliki rasa. Maafkan aku. Aku bukan menyengaja untuk memiliki rasa ini. Rasa ini nyatanya tumbuh dan berkembang dengan sendiri. Aku tak mau kita menjadi berbeda karena hal ini. Memang benar, aku tidak ingin kita hanya menjadi sebatas sahabat saja, aku ingin lebih dari itu. Namun percayalah yang lebih lebih aku ingini adalah kita tetap bisa bersama dalam keadaan apapun.
Bagiku memiliki rasa ini adalah anugrah. Rasa ini membuat ketakutan akab masa lalu, bertahap sirna. Aku harap dia pun memiliki rasa ini.
Bandung, 12 November ‘16 10.32 PM
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)