Menurut Imam Raghib Al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an ilmu adalah mengetahui sesuatu
sesuai dengan hakikatnya. Hal tersebut terbagi menjadi dua; pertama,
mengetahui inti sesuatu itu dan kedua adalah menghukumi sesuatu pada
sesuatu yang ada, atau menafikan sesuatu yang tidak ada.
Dalam konsep islam, ilmu yang memiliki priotitas untuk dipelajari dan
diamalkan terlebih dahulu adalah ilmu syariah (Agama), jika
dibandingkan dengan ilmu yang sifatnya dunawi. Dalam arti luas Ilmusyariah berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku fisik ataupun jiwa.
Sumber ilmu yang utama dalam ilmu syariah (agama islam) dibagi sebagai
berikut :
a. Al-Quran, adalah sumber pengetahuan yang utama
karena baik makna atau lafadz nya adalah langsung dari Allah swt. Dalam
memahami dan mempelajari ilmu yang terkandung dalam Al-Quran, ada 2 aspek
yang harus dipelajari yakni dari segi bacaannya dimana meliputi ilmutajwid, ilmu rasm (penulisan Al-Quran) dan ilmu Qira’at. Lalu yang kedua adalah dari segi tafsir quran. Dalam
memahami tafsir Al-Quran ada dua metode yang dapat digunakan, yakni secara manqul (penukilan) dan ma’qul (penggunaan rasionalitas
akal)
b. As-Sunnah (Hadits), merupakan sumber ilmu
kedua dalam islam. As-Sunnah merupakan segala perbuatan, perkataan dan
persetujuan Rasulullah Saw atas suatu hal. Dalam konteks mempelajari hadits
untuk dijadikan sumber pengetahuan dan hukum, ada satu syarat utama yang
harus dipenuhi, yakni hadits yang digunakan haruslah hadits yang shahih.
Oleh karenanya dalam ilmu hadits, ada dua hal pokok yang harus dipelajari
yakni terkait sanad (jalur periwayatan hadits) dan matan
(isi kandungan hadits).
c. Al-Atsar adalah sumber pengetahuan ketiga
dalam islam yang merupakan perkataan para salafus shalih (tiga
golongan pertama islam yakni, para sahabat, thabiin dan atba’u thabiin). Dalam mempelajari Al-Atsar agar bisa digunakan
sebagai sumber pengetahuan hampir sama dengan As-Sunnah, dimana harus
memperhatikan aspek sanad dan matannya.
Abu Abdillah As-Surianji mengatakan bahwa ada 3 tingkatan manusia dalam
menuntut ilmu yakni, orang awam, penuntut ilmu dan alim (ulama).
Orang awam adalah mereka yang mengikuti setiap orang yang berseru. mereka
condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan), tidak menerangi
diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat.
Golongan kedua adalah golongan para penuntut ilmu, yang mereka sedang
menempuh jalan keselamatan. Mereka tidak sekadar mengikuti pendapat
seseorang, namun mereka mencoba mencari tahu kenapa seseorang berpendapat
“A” dalam suatu hal. Kemudian golongan yang ketiga adalah Alim Rabbani (ulama) mereka adalah para ulama yang mengamalkan
ilmunya, mereka mengetahui berbagai pendapat para ulama terhadap suatu
permasalahan. Mereka pun mengajarkannya ilmunya kepada orang lain secara
bertahap (dari tingkat yang paling rendah, kemudian ilmu yang lebih tinggi
dari sebelumnya).
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dalam dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain dan 2).
Fardhu kifayah. Fardhu ‘ain adalah setiap ilmu yang harus
dipelajari oleh setiap muslim tentang Ilmu Agama Islam, agar akidahnya
selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya lurus dan sesuai dengan yang
disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunah
Nabi-Nya yang sahih. Inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang hak)
Melainkan Allah
”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw
dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
(H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini, adalah mencari ilmu
agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan Fardhu kifayah adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat
dengan mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam
ilmu-ilmu yang dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum,
kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada
yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan
jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung
resikonya.
Selain merupakan perintah dari Allah swt, pada hakikatnya kenapa seorang
muslim berkewajban untuk menuntut ilmu karena ilmu merupakan kebutuhan
manusia, ilmu dapat menyelamatkan manusia, dan ilmu adalah jawaban dari
semua keingintahuan manusia terhadap banyak hal, tentang penciptaan alam
semesta, makhluk ghaib, dll.
Mengingat bahwa menuntut ilmu merupakan kewajban, mari kita coba menelisik
ke masa lampau, bagaimana kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu.
Lihatlah bagaimana Imam asy-Syafi’i berlelah letih dalam belajar, hingga ia
mencapai derajat yang kita ketahui saat ini. Beliau rahimahullah bercerita
tentang proses belajarnya, “Ketika aku telah menghafalkan Alquran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para
ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya. Aku
pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan
padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan
tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah
penuh, kuletakkan di tempaian yang kami miliki.” (Ibnu al-Jauzi dalamShifatu Shafwah, 2/249 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 51/182).
Pada proses menunutu ilunya para ulama masa lampau tidak secara instan dan
mudah menapatkanya namun mereka memiliki sikap sebagai berikut :
- Menyelesaikan pelajaran dasar
- Memilih guru dan melakukan rihlah (perjalanan untuk menuntut ilmu)
- Sabar dalam belajar
- Tidak tergesa-gesa
- Serta mengoleksi sumber referensi ilmu.
Kemudian setelah mereka memperoleh ilmu, mereka senantiasa memeliharanya.
Memelihara dengan cara menghafalnya, mencatatnya, mengulangnya serta yang
tak kalah penting adalah mengamalkannya. Menurut sebagian ulama mengamalkan
ilmu adalah cara terbaik untuk mememlihara ilmu.
Ilmu syariah adalah nur, cahaya penerang sekaligus
pedoman bagi manusia. Bukan hanya pedoman untuk menuju keselamatan akhirat,
namun dunia dan akhirat. Maka tak salah jika kiranya Allah swt mewajibkan
manusia untuk menuntut ilmu syariah, itu merupakan bentuk
kecintaan Allah swt pada hambaNya.
Oleh : Lutfhi Arif Fadillah
Bandung, 12 April 2017 09.00 WIB
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)