A. Hasan adalah pria yang lahir di Singapura 1887 dengan nama Hasan Bin Ahmad, A. Hasan adalah keturunan Indonesia dan India.
"Kalau Tuan merasa seorang Islam ... siapa lagi yang akan bela Islam di saat seperti itu selain Tuan? Bulatkan tekad, Islam harus Tuan bela!”
Suatu hari ketika tahun menunjuk angka 1929, terdengar obrolan dari sebuah rumah sederhana yang terhimpit di Gang Pakgade, jalan sempit persis di belakang Pegadaian Negeri Bandung. Seorang lelaki muda tampak berbincang dengan si empunya rumah yang berusia lebih tua.
Datuk Alimin Sati, nama pemuda itu, bercerita tentang maraknya pelecehan terhadap Islam dari mulut orang-orang yang disebutnya kaum sekuler, juga mereka yang berhimpun di dalam golongan kebatinan. Mendengar aduan itu, reaksi yang ditunjukkan tuan rumah sama sekali tak terduga.
Dengan suara lantang, ia menghardik keras, ”Bila Tuan mendengar Islam direndahkan orang di depan Tuan, maka saat itu juga dengan cepat Tuan harus berpikir, Tuan orang Islam atau bukan? Kalau Tuan merasa bukan orang Islam, masa bodo, habis perkara, tak ada persoalan lagi!”
“Tapi kalau Tuan merasa seorang Islam, maka Tuan harus berpikir, siapa lagi yang akan membela Islam di saat seperti itu selain Tuan? Bulatkan tekad, Islam harus Tuan bela!” tambahnya.
Siapakah sebenarnya pria pemilik rumah yang nyaris naik darah gara-gara tak terima agamanya dinistakan itu? Orang mengenalnya dengan nama Ahmad Hassan, atau cukup sebagai A. Hassan saja. Bukan orang asli Bandung, tapi pendatang keturunan Tamil, India, yang kala itu berusia 42 tahun.
Pertamakali datang ke Kota Kembang pada 1924 dengan maksud awal mempelajari kerajinan tenun, A. Hassan justru tertarik dengan kehadiran Persis (Persatuan Islam), sebuah perhimpunan yang didirikan beberapa bulan sebelumnya, 12 September 1923. Ia bergabung dengan Persis pada 1926 dan diangkat sebagai guru utama ( Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, hal. 25).
A. Hassan menjadi panutan bagi para aktivis pergerakan nasional di Bandung saat itu, terutama dari kalangan intelektual muslim. Datuk Alimin Sati adalah salah satunya. Sati adalah rekan Mohammad Natsir, pemuda asli Minang yang kelak menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Indonesia dan kerap berselisih paham dengan sang presiden, Sukarno.
Natsir memang terpikat oleh sosok A. Hassan. Seperti disebut Artawijaya dalam buku Belajar dari Partai Masjumi, ia adalah orang yang menginspirasi dan membentuk karakter Natsir. Kesederhanaan hidup, ketekunan, dan buah pikiran A. Hassan yang tajam kelak di kemudian hari seolah diwariskan kepada Natsir (2008:4).
Di Bandung, Sati dan Natsir bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) dan sama-sama penggiat Jong Islamieten Bond (JIB). Keduanya serta banyak anak muda lainnya kerap berkunjung ke kediaman A. Hassan untuk berdiskusi atau sekadar berbincang ringan tentang apapun.
Selaras dengan Persis yang mengusung misi pemurnian Islam sesuai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, A. Hassan selalu pasang badan jika agamanya dihina. Namun, bukan dengan berteriak-teriak menghujat atau bahkan main tangan, ia dengan elegan menghadapi lawan-lawannya lewat adu pemikiran baik melalui tulisan maupun diselesaikan di meja debat.
Bukan hanya Agus Salim atau Sukarno saja yang dikenal sebagai singa podium di era pergerakan nasional waktu itu. A. Hassan pun tak kalah jago. Ia adalah pakarnya debat, apalagi jika menyangkut martabat Islam yang memang cukup dikuasainya. Tulisannya juga tajam dan mengena karena ia pernah berkarier sebagai jurnalis di suratkabar terbitan Singapura, Utusan Melayu.
Tantangan perdebatan terkait perbedaan keyakinan memang cukup mencuat di akhir dasawarsa kedua abad ke-20 itu. Atas arahan A. Hassan, Natsir dan kawan-kawan mendirikan laskar bernama Komite Pembela Islam untuk membendung propaganda misionaris Kristen yang kala itu memang cukup massif di Hindia Belanda.
Ketika datang tantangan polemik dari seorang pendeta Protestan bernama A.C. Christoffels lewat ceramahnya yang bertajuk “Mohammed als Proofet” pada 1929 yang dimuat di suratkabar Algemeene Indisch Dagblad (AID), A. Hassan meminta Natsir untuk membalas serangan tersebut, lewat media yang sama.
Pendeta Christoffels sempat balik membalas melalui AID, namun suratkabar berbahasa Belanda itu menolak balasan berikutnya dari kubu Natsir. Tak putus akal, A. Hassan lalu memprakarsai penerbitan majalah Pembela Islam sebagai media untuk menangkal bermacam serangan kalam yang datang.
Dua tahun berselang, sebuah artikel yang sangat polemis juga memicu reaksi A. Hassan. Penulis artikel adalah J.J. Ten Berge, seorang pastur Katolik dari Ordo Jesuit, yang menuliskan kritik tajam terhadap kitab suci umat Islam melalui jurnal Studien. Sempat dibalas Natsir lewat Majalah Pembela Islam Nomor 33/1931, A. Hassan akhirnya turun gelanggang karena menilai ulah Ten Berge sudah keterlaluan.
A. Hassan menantang sang pastur debat terbuka. “Di tempat mana yang dia sukai, dan dalam bahasa apa yang dia maui, dan kalau dia bersedia datang ke Bandung, ongkos jalan dan penginapannya akan dibayar oleh Komite Pembela Islam,” demikian tantangan A. Hassan kepada Ten Berge seperti dikutip dari Artawijaya (2008:7).
Tantangan debat terbuka dalam skala yang lebih besar kembali dilayangkan oleh A. Hassan yang mewakili Persis pada 1933. Kali ini bukan kepada tokoh Kristen, tapi Ahmadiyah yang saat itu dimotori Maulana Rahmat Ali. Persinggungan antara dua kubu ini sebenarnya diawali dengan polemik lewat media, Ahmadiyah menggunakan majalah Sinar Islam, sementara Persis tetap dengan Pembela Islam.
Mengangkat tema “Hidup dan Matinya Nabi Isa” debat terbuka ini ternyata diminati lebih dari 1.000 orang di Gedung Societeit Ons Genoegen Bandung. Debat kedua di di Batavia lebih ramai lagi dengan hadirnya 2.000 orang. Pada edisi ketiga pada 1934, juga dihelat di Batavia, penonton yang ingin menyaksikan aksi A. Hassan tercatat lebih dari 1.500 orang (Catur Wahyudi, Marginalisasi dan Keberadaan Masyarakat, 2015:63).
A. Hassan pernah pula beradu argumen dengan sesama tokoh Islam seperti Hasbi ash-Shiddieqy soal jabat tangan lelaki-perempuan bukan muhrim, dengan Wahab Hasbullah tentang taklid, dengan Umar Hubeis, Bey Arifin, dan Husein Al-Habsyi tentang mazhab, bahkan dengan Hamka mengenai kebangsaan, sempat juga berdebat dengan tokoh atheis asal Malang, M. Ahsan (Mohammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 2006:19).
Sebelum Natsir terlibat perdebatan sengit dengan Sukarno yang akhirnya berujung pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri Indonesia pada 26 April 1951, A. Hassan sudah lebih berdebat dengan Sukarno. Tema besar yang diperdebatkan kurang lebih sama, yakni terkait posisi agama dan negara dalam pemerintahan.
Ia secara tegas menentang pemerintahan yang diatur dengan cara sekuler. A. Hassan meminta kepada umat Islam ketika itu untuk bersabar dalam perjuangan karena menurutnya, melakukan konfrontasi fisik dengan sesama anak bangsa dalam konteks negara yang baru merdeka hanya akan menimbulkan kekacauan yang besar.
“Yang dikejar tidak dapat, yang dikandung berceceran,” begitu kata A. Hassan (Tiar Anwar Bachtiar, Risalah Politik A. Hassan, 2013:158).
Meskipun begitu, hubungan A. Hassan dan Sukarno jauh dari permusuhan. Polemik dan debat di antaranya keduanya berlangsung dalam atmosfir intelektual, yang betapa pun kerasnya masih menjunjung tinggi respek kepada yang lain. Beberapa kali keduanya tampak mesra dan saling memberi dukungan. Bagi Sukarno, A. Hassan adalah sahabat sekaligus guru dalam mempelajari Islam. Tokoh nasionalis ini mengaku sangat mengagumi karya-karya A. Hassan yang seabrek jumlahnya itu.
Bahkan, selama menjalani pembuangan di Ende, Flores, sejak 1934, Sukarno rutin berkirim surat untuk A. Hassan. Perdebatan lewat guratan pena di atas kertas pun masih berlangsung dalam korespondensi ini kendati tetap dalam nuansa yang elegan dan mencerahkan.
A. Hassan memang cukup identik sebagai seorang intelektual muslim berkarakter keras dan lugas ketika harus membela keyakinan dan agama yang dipeluknya. Namun, di balik “kekolotan” tersebut, A. Hassan sangat membumi dan humanis di kehidupan sehari-harinya. Ia memang sangat bergairah mendebat dan berpolemik, namun caranya berpolemik tidaklah dengan menggunakan mimbar untuk melancarkan caci maki. A. Hassan melakukannya dengan tenang, dingin, elegan, dan tutur kata yang serba terukur.
Tepat pada 1940, A. Hassan pindah dari Bandung ke Jawa Timur, tepatnya di Pasuruan. Di suatu desa kecil bernama Bangil, ia mendirikan pondok pesantren yang masih bertautan dengan haluan yang selama ini melekat pada dirinya, Persis. Tanggal 10 November 1958, A. Hassan wafat, mewariskan puluhan karya yang masih mengabadi hingga kini.
Sumber :
(tirto.id - isw/zen)
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)