Seluruh aspek kehidupan manusia tentunya harus dilihat dari cara pandang Islam, karena Islam merupakan ajaran yang syamil dan sangat vital. Tantangan terbesar di era modern adalah banyaknya paham-paham yang sedikit banyak berpengaruh untuk mengubah cara pandang seseorang. Bahkan tidak sedikit ulama-ulama yang memiliki aqidah yang kuat tapi terpengaruh pemikiran-pemikiran barat yang berujung pada pertikaian sesama umat. Cara berpikir Islam dibentuk oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, pemikiran para ulama dan pengetahuan yang berkembang. Sedangkan paham yang lain, terutama sekularisme berasal dari pengalaman yang menarik dari pengikutnya.
Seperti kalimat yang selalu digaungkan para muslim yaitu “orang baik adalah ia yang bermanfaat bagi orang lain“. Dalam kacamata Islam, baik itu harus bersifat komprehensif dan harus menyeluruh. Jika hanya dilihat dari satu sisi, maka orang yang tidak melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. tapi bersikap baik kepada tetangga bisa dibilang baik. Padahal sebenarnya tidak ada dikotomi dalam Islam antara habluminallah dan habluminannas. Secara tidak sadar, itu adalah doktrin yang diberikan para penganut sekularisme.
Selain itu Al-Ustadz Tiar Anwar Bachtiar menyinggung tentang kalimat yang sering diungkapkan kepada masyarakat bahwa “Kebenaran hanya milik Allah SWT. Kebenaran Allah SWT. bersifat mutlak sedangkan kebenaran manusia bersifat relatif“. Sepintas kalimat tersebut mungkin terlihat tidak keliru, namun jika ditelaah maka banyak hal yang terkandung didalamnya. Agama berasal dari kebenaran, maka tidak salah jika dikatakan bahwa kebenaran itu berasal dari Allah SWT. Namun, kurang tepat jika dikatakan bahwa kebenaran hanya milik Allah SWT. Jika kebenaran hanya milik Allah SWT, maka untuk apa Allah SWT. menurunkan agama? Sesungguhnya agama diturunkan kepada manusia dalam bentuk kebenaran. Sehingga kebenaran juga pasti dimiliki manusia atas iradahnya Allah SWT. Penilaian benar atau salah ada pada dimensi manusia, bukan Allah SWT. karena kembali lagi bahwa kebenaran datang dari Allah SWT. dan itu adalah suatu kepastian yang tidak perlu dipertimbangkan benar atau salah.
Pemikiran bahwa Kebenaran hanya milik Allah SWT. merupakan “paham relativisme kebenaran“. Paham tersebut diperkenalkan di Yunani oleh para Sofis (anti kebenaran) yang menjelaskan bahwa kebenaran hanya diketahui oleh Tuhan. Tapi ini adalah pemikiran yang salah sehingga diperlukan adanya pengetahuan agar tidak menempuh jalan yang salah. Oleh karena itu, kita harus berpegang teguh pada agama karena hakikatnya tujuan dari agama adalah untuk menunjukan kebenaran.
Sama halnya dalam memahami ayat-ayat Allah SWT. Seperti, Surat Al-Baqarah : 62 yang dijadikan dalil pengecoh para penganut pluralisme. Jika dilihat sekilas, maka ayat tersebut memperlihatkan kemurahan hati Allah SWT. bahwa apabila ada keimanan kepada Allah SWT. meskipun orang yang bukan berasal dari agama Islam maka akan mendapat pahala dari Allah SWT.. Ayat tersebut sering disampaikan untuk mendukung toleransi antaragama. Padahal asbabun nuzun ayat tersebut tidak semerta-merta menjelaskan hal tersebut. Asbabun nuzunnya mengisahkan pertanyaan sahabat Rasulullah tentang kedudukan orang kafir yang menjadi muslim dan orang yang sudah muslim sedari lahir.
Pengecohan-pengecohan tersebut bisa terjadi apabila kita tidak memahami penafsiran Al-Qur’an. Karena sesungguhnya penafsiran Al-Qur’an bersifat mutlak, kecuali sedikit ayat-ayat mutasyabihat yang sering kali mengalami perbedaan penafsiran / bersifat relatif. Penafsiran Al-Qur’an bersifat mutlak karena penafsirannya bersifat tekstual. Dan hanya Al-Qur’an yang dapat seperti itu. Sedangkan pada ‘agama’ selain Islam, tafsir kitabnya selalu berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan para pengikutnya. Padahal dijelaskan bahwa tafsir itu adalah ilmu yang tetap dan ilmiah. Hal tersebut merupakan kelemahan mendasar yang dimilki oleh ‘agama’ selain Islam.
Perbedaan relatif tafsir Al-Qur’an dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat terlihat pada ahlussunnah waljamaah (ASWAJA) yang terpecah menjadi kelompok kaum Salaf (Wahabiah) dan kelompok kaum Kholaf (As-Sya’ariyah). Perbedaan terjadi karena Wahabiah tidak mentakwil ayat Al-Qur’an sedangkan As-Sya’ariyah mentakwilkan dan direfleksikan dengan sifat-sifat Allah SWT.
Oleh : Elis Yulianti Nurhasanah
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)