Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan pada kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejarah peradaban pun tak bisa dipisahkan dengan sosok pemuda, Pemuda dan budaya literasi. Pemuda terbaik bukan lagi pemuda yang hanya memiliki fisik yang kuat dan memiliki prestasi akademik yang tinggi. Pemuda terbaik saat ini adalah ia yang memiliki kemampuan literasi media yang maksimal. Di tengah cepatnya perkembangan teknologi informasi, pemuda harus lebih cerdas dalam menyikapi arus informasi yang semakin hari tidak mudah dikendalikan.
Tiada hari tanpa menulis
sebab yang tertulis akan mengabdi
dan yang berucap akan berlalu
bersama angin
(M.M. Dahlan)
Karakteristik utama generasi ulil albab (orang yang berpikir) adalah mereka yang gemar membaca, gemar menulis pun begitu gemar berdialetika. Menulis selalu berhubungan dengan kebiasaan membaca. Menulis merupakan suatu upaya melatih diri untuk berpikir secara kritis dan sistematis. Membaca menjadi stimulus membuka cakrawala ilmu pengetahuan. Sedangkan dengan berdialetika menjadikan kemampuan berpikir, berdialog, serta berpendapat kian terasah. Lebih dari itu, membaca, menulis dan berdialetika merupakan aktivitas membangun peradaban sekaligus merawat peradaban itu sendiri.
Ilmu pengetahuan yang didapat, idealnya harus ditransformasikan dan disampaikan ulang kepada khalayak ramai. Sehingga proses pengembangan dan penyebaran ilmu terus berlanjut dan tidak stagnan disatu titik dan peradaban dengan sendirinya akan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Tafsir dan falsafah tentang generasi muda masa kini harus didekonstruksi. Narasi tentang kultur literasi para tokoh pendahulu harus mampu menjadi pemantik, pun menjadi pemicu bagi generasi muda agar mampu membangun kembali cita kehidupan yang merdeka dan lepas dari cengkeraman ekspansi budaya kapitalistik.
Untuk mewujudkan hal itu, maka hal pertama yang harus dilakukan mau tidak mau, harus dimulai dari membangkitkan etos dan semangat literasi yang gigantis (dahsyat).
"Penentu kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, tetapi literasi. Saat itu, tentara Jepang memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi ketimbang tentara Rusia." ( Geoffrey Jukes (2002), dalam buku The Russo-Japanese War)
Di sinilah pentingnya literasi, membangun sebuah peradaban baru berarti membangun kembali budaya literasi. Budaya literasi ini diwujudkan dalam tradisi membaca, menulis, meneliti, berdiskusi, dan sederet aktivitas lainnya sebagai starting point bagi lahirnya perubahan. Generasi muda harus menjadikan literasi sebagai bagian inheren dalam kesehariannya. Literasi harus menjadi makanan terlezat bagi seorang pemuda.
Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir (kompasiana.com, 16/03/2012).
Membumikan literasi, tidak serta merta dapat dilakukan secara spontan. Namun membutuhkan tahapan sedikit demi sedikit. Generasi muda harus mampu menjadikan budaya literasi sebagai jihad melawan rasa malas. Demi satu cita yaitu menjadi pelaku sejarah.
Dengan tradisi literasi, pemuda akan diperkenalkan pada ide-ide besar tentang perubahan, autentisitas kemodernan, dunia internasional, sekaligus keindonesiaan sehingga generasi muda akan terbebas dari nalar pragmatis, hedonis dan kesadaran semu yang bersifat utopis dan ilusif. Buku tidak sekadar diburu, buku tak hanya dicari, apalagi sebagai simbol agar tampak modis dan eksibisionis. Buku menjadi modal utama mendidik diri untuk menjadi sang reformis atau bahkan sang revolusioner.
Dari budaya literasi harus tercipta katalis-katalis untuk menegasi setiap nilai dan norma yang tidak sesuai, baik berdasar rasionalitas akal dan pikiran ataupun berdasarkan teologis. Dari budaya literasi pula, harus mampu mengintegrasikan nilai dan norma yang baik pada setiap sendi kehidupan, serta menghadirkan nilai dan norma baru yang lebih baik bagi peradaban bangsa. Di sinilah peran generasi muda sangat diperlukan, dengan kultur literasi gigantisnya, maka akan terbentuk pandangan dunia, cara berpikir dan karakter ulul albab yang dengannya menjadikan generasi muda ini senantiasa kritis dan progresif terhadap semua problematika-problematika keumatan yang berkembang, serta memberikan sikap-sikap yang solutif.
Hidup memang sebuah perjuangan, meski sakit seperti tertebas pedang, pemuda jangan pernah berhenti membaca sebab buku adalah modal utama membangun peradaban literasi. Hidup memang sebuah pengabdian, meski berat seperti memundak batu, generasi muda jangan pernah berhenti menulis, sebab bait-bait tulisan adalah amunisi membangun peradaban literasi. Hidup memang sebuah pengorbanan, meski sulit layaknya mencari embun ditengah padang pasir, generasi muda jangan pernah berhenti berdialetika, sebab ia adalah senjata tercanggih membangun peradaban literasi.
@luthfi_ariff
Bandung, 31-01-2016 22.15 WIB
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)