Ada yang berpendapat bahwa dalam khutbah Jum’at kesatu dan kedua membaca shalawat termasuk rukunnya, berdasarkan QS 33 : 56. Mohon penjelasannya.
Abdulah, Bengkulu
Ayat yang anda maksud adalah sebegai berikut:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٥٦
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. Q.s. 33/Al-Ahzab : 56
Ayat ini menerangkan bahwa Allah swt bershalawat kepada Nabi Muhammad
saw. Demikian pula para malaikat bershalawat kepada Nabi atas perintah
Allah swt. Di dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa Allah swt
bershalawat kepada Nabi saw itu maksudnya Allah menyanjung Nabi Muhammad
di hadapan para malaikat dan menganugerahkan rahmat serta maghfirah-Nya
kepada beliau saw. Sedangkan malaikat bershalawat kepada Nabi saw
maksudnya berdo’a kebaikan untuk Nabi saw dan memohonkan ampunan serta
barakahnya. Demikian di antaranya perkataan Abu al-Aliyah yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari. Tafsir Ibnu Katsir, VI : 457.
Menurut para ahli tafsir bahwa Allah swt sedang menerangkan kedudukan
yang mulia hamba dan utusan-Nya ini dan bahwa Allah swt menyanjung Nabi
Muhammad di hadapan malaikat muqarrabun (yang palinf
didekatkan) dan bahwa para malaikat pun bershalawat atas beliau. Maka
Allah swt memerintahan seluruh penduduk alam rendah/dunia khususnya
manusia untuk bershalawat kepada beliau. Dengan demikian, bersatulah
shalawat-alam tinggi dan alam rendah, yakni shalawat Allah swt,
malaikat, dan hamba-hamba-Nya.
Setelah diteliti dan dikaji tidak didapatkan satu pun hadits atau
riwayat yang shahih bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan shalawat
Allah, shalawat malaikat, dan perintah bershalawat kepada orang-orang
yang beriman dikaitkan dengan upacara khutbah Jum’at. Entah sejak kapan
hal itu ada dan menjadi kebiasaan kaum muslimin. Yang lebih mengherankan
lagi dikhususkan pada upacara khutbah Jum’at dengan mejadikannnya
sebagai rukun khutbah Jum’at. Oleh karena itu perlu kiranya dikemukakan
di sini sejarah adanya shalawat pada khutbah beserta beberapa riwayat
adanya shalawat pada khutbah disertai keterangan kedha’ifannya.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dipaparkan sebelumnya,
tidak terdapat satu pun dari keterangan-keterangan itu yang menunjukkan
bahwa dalam tahmid (memuji Allah pertanda memulai khutbah) disertakan
bacaan shalawat, baik sebelum atau sesudahnya. Bahkan kami belum
mendapatkan keterangan atau hadits yang shahih atau paling tidak atsar
shahabat yang shahih tentang disertakannya shalawat kepada Nabi saw di
dalam tahmid itu.
Setelah kami terus mencoba meneliti tentang hal itu, kami dapatkan
beberapa riwayat yang menerangkan tentang hal itu, namun
hadits-haditsnya tidak dapat dijadikan hujah karena sanad-sanad riwayat
tersebut seluruhnya tidak terlepas dari kedla’ifan-kedla’ifan. Oleh
karena itu kami merasa perlu menerangkan beberapa kedla’ifan
hadits-hadits yang menerangkan adanya pembacaan shalawat di dalam tahmid
sebagai berikut:
Setiap urusan yang tidak dimulai dengan memuji Allah dan shalawat kepadaku, maka terputus, kosong, dan terhapus dari barakah. H.r. Abu Ya’la, Al Irsyad, I : 449, Al Hindi, Kanzul Umal,: 2510.
Dalam kitab Subulus Salam I : 5, diterangkan:
كُلُّ كَلاَمٍ لاَيَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ وَلاَ يُصَلِّي فِيْهِ عَلَيَّ فَهُوَ أَقْطَعُ أَكْتَعُ مَمْحُوقُ الْبَرَكَةِ.
Setiap ucapan yang tidak dimulai dengan memuji Allah dan shalawat kepadaku, maka terputus, kosong, dan terhapus dari barakah. Subulus-Salam, I : 5.
Perlu diketahui bahwa kedua redaksi hadits ini bukanlah sabda Nabi saw melainkan pernyataan yang disandarkan kepada seorang shahabat, yaitu Abu Hurairah tanpa menyebutkan bahwa itu merupakan sabda Rasulullah saw. Jadi secara sanad hadits ini mauquf. Di samping itu pada sanadnya terdapat rawi bernama Isma’il bin Abu Ziad As Syami yang dinyatakan matruk (diduga kuat pemalsu hadits) oleh ad-Daraquthni. Lihat Al Mughni fid Du’afa libnil Jauzi, I : 113.
Selain kedua redaksi hadits di atas terdapat pula riwayat lain yang menerangkan bahwa para shahabat Rasul pernah bershalawat dalam khutbahnya. Adapun riwayat-riwayatnya antara lain sebagai berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَعَدَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ الله rيَوْمَ سُمِيَ خَلِيْفَة رَسُولِ اللهِ r فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِ r ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى الْمَجْلِسِ الَّذِي كَانَ النَّبِيُ r يَجْلِسُ عَلَيْهِ مِنْ مِنْبَرِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ الْحَبِيْبَ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى هَذَا الْمَجْلِسِ يَتَأَوَّلُ هَذِهِ الآيَةَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ …
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Abu Bakar duduk pada mimbar Rasulullah
saw pada hari dirinya disebut khalifah Rasul. Lalu ia memuji kepada
Allah dengan pujian yang memang Dia berhak mendapatkannya dan bershalawat kepada Nabi,
kemudian mengulurkan kedua tangannya, lalu menempatkannya pada tempat
duduk yang pernah dipergunakan Rasulullah saw ketika khutbahnya,
kemudian ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. mentakwil ayat ini ya ayuuhal ladzina amanu…H.r. Ibnu Mardawaih, Al Hindi, Kanzul Ummal, juz III, hal. 271
Riwayat ini tidak shahih disebabkan menyalahi riwayat lainnya yang
masyhur bahwa Abu Bakar pada saat itu berkhutbah tanpa membaca shalawat.
Hal ini seperti dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Abd bin
Humaid, al-Humaidi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim. Adapun haditsnya
sebagai berikut:
Dari Qaisy bin Abu Hazim, sesungguhnya Abu Bakar as-Shiddiq berdiri (berkhutbah), lalu beliau bertahmid kemudian berkata: “Hai orang-orang, sesungguhnya kamu membaca ayat ini “Ya ayuhalladzina amanu…” (Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.). Kami mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Hai orang-orang, apabila kamu melihat kezhaliman tetapi kamu tidak dapat mengubahnya niscaya Allah akan meratakan adzab kepada mereka.”
Dengan demikian jelas sekali lafal bahwa Abu Bakar membaca shalawat merupakan idraj (tambahan) yang dla’if.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَقْرَئُ عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فِي آخِرِ خِلاَفَةِ عُمَرَ…فَلَمَّا صَعِدَ عُمَرُ الْمِنْبَرَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَامَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِ r ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ…
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Saya membacakan kepada Abdurrahman
bin Auf pada akhir kekhalifahan Umar…ketika Umar naik mimbar muadzin
mulai beradzan, ketika ia selesai, Umar berdiri lalu memuji kepada
Allah, menyanjung-Nya dan bershalawat atas Nabi saw kemudian berkata,
‘Amma ba’du’…H.r. Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, I:299-300
Riwayat ini pun menyalahi riwayat yang masyhur bahwa Umar ketika itu
khutbah tanpa shalawat, seperti dalam riwayat Abdurrazaq, V : 439, Abu
Hatim At Tamimi Al Bisti, At Tsiqat, II : 153, Abul Husain, Muslim Al
Hajaj, At Tamyiz, I : 175. Adapun haditsnya sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَقْرَىءُ عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فِي خِلاَفَةِ عُمَرَ…فَلَمَّا اِرْتَقَى عُمَرُ الْمِنْبَرَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِهِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ أَذَانِهِ قَامَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللهِ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ…
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Aku membacakan kepada
Abdurrahman bin Auf pada kekhilafahan Umar…Ketika Umar naik mimbar
mulailah muadzin adzan, ketika telah selesai dari adzannya berdirilah
Umar (berkhutbah), maka beliau memuji kepada Allah dengan pujian yang
memang Dia ahlinya, lalu beliau mengatakan,’Amma ba’du…”.
Di samping hadits ini terdapat pula hadits-hadits lainnya yang
menerangkan tentang khutbah Umar tanpa shalawat. Seperti halnya dalam
riwayat Abu Ya’la, Malik, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Abu Dawud. Adapun haditsnya sebaga berikut:
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan: “Umar berkhutbah di atas mimbar
Rasulullah saw. Maka beliau memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya,
kemudian beliau mengatakan: ‘Amma ba’du, ingatlah bahwasanya khamer
pengharamannya turun pada hari (dimana) ia turun, yaitu dari lima macam;
dari hinthah (gandum), syair, tamr (kurma), zabib (anggur), dan ‘asl
(madu)….
Ada juga riwayat yang disandarkan kepada ‘Utsman bin Affan sebagai berikut:
عَنْ بَدْرِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عَمِّهِ قَالَ لَمَّا بَايَعَ أَهْلُ الشُّوْرَى عُثْمَانَ خَرَجَ وَهُوَ أَشَدُّهُمْ كآبَةٍ فَأَتَى مِنْبَرَ رَسُولِ اللهِ r فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ r وَقَالَ إِنَّكُمْ فِي دَارِ قِلْعَةٍ وَفِي بَقِيَةِ أَعْمَارٍ فَبَادِرُوا آجَالَكُمْ بِخَيْرِ مَا تُقَدِّرُونَ عَلَيْهِ فَلَقَدْ أَتَيْتُمْ صَبَحْتُمْ أَوْ مَسَيْتُمْ أَلاَ وَإِنَّ الدُّنْيَا طُوِيَتْ عَلَى الغُرُورِ فَلاَ تَغُرَنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَ يَغُرَنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُوْرُ…
Dari badr bin Usman dari bapaknya, ia mengatakan: Ketika sampai
kepada anggota musyawarah Usman, ia keluar dan ia adalah orang yang
paling mendalam kesedihannya, lalu ia mendatangi mimbar Rasulullah saw
dan berkhutbah kepada orang-orang. Maka ia bertahmid dan menyanjung
Allah swt. serta bershalawat kepada Nabi saw dan ia berkata: “Sesungguhnya
kalian berada di rumah benteng dan di dalam sisa-sisa umur. Maka
bersegeralah kepada ajal-ajal kalian dengan kebaikan yang kalian mampu.
Sungguh kalian telah datang pagi atau petang. Ingatlah, sesungguhnya
dunia ini dikemas di atas tipu daya. Maka janganlah kalian terperdaya
oleh dunia dan janganlah tipuan-tipuan memperdayakan kalian kepada
Allah”. H.r. At-Thabari, Tarikh at-Thabari, II:589.
Pada sanad hadits ini terdapat rawi yang mubham (tidak jelas), yakni hanya diterangkan ammuhu
(pamannya). Sedangkan dalam kitab-kitab rijal tidak ada keterangan
bahwa Badr bin Usman pernah menerima hadits dari pamannya. Dengan
demikian hadits ini dla’if karena ada rawi yang mubham dan sanadnya munqathi’ (terputus).
Ada juga yang disandarkan kepada Ali bin Abu Thalib yakni sebagai berikut:عَنْ عَوْنَ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ r وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِي الله عَنْه وَقَالَ يَجْعَلُ اللهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ.
Dari Aun bin Abu Juhaifah, ia berkata: Bapakku di antara …Ali, dan ia
berada di bawah mimbar, lalu ia menceritakan kepadaku bahwa Ali naik
mimbar lalu bertahmid dan bershalawat kepada Nabi saw. Lalu ia berkata: “Yang terbaik di antara umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar, yang kedua Umar.” Dan ia berkata: “Allah menetapkan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” H.r. Abdullah bin Ahmad, Musnad Ahmad I:106, Fadhailus Shahabah, I:306, as-Sunnah, II:581
Khutbah Ali pada hadits di atas, disampaikan di Kufah setelah usai
perang Nahrawan (melawan kaum Khawarij) yang terjadi pada tahun 38 H/658
M (Lihat, Tarikh Ibnu Asakir, XXXXIV:207; Tarikh Baghdad, XI:124; Fathul Bari,
VII:386) atau 2 tahun sebelum Ali meninggal dunia (tahun 40 H/660 M).
Khutbah tersebut diriwayatkan oleh 80 orang lebih dari kalangan shahabat
maupun tabi’in. Dilihat dari thuruq (jalur periwayatan),
riwayat Abu Juhaifah dan Abdu Khair paling banyak jumlahnya. Riwayat Abu
Juhaifah diriwayatkan oleh 10 orang, antara lain ‘Aun bin Abu Juhaifah,
al-Hakam bin Utaibah, Yazid bin Abu Ziyad, Abdullah bin Abus Safar, Abu
Ishaq as-Sabi’i, Hushain bin Abdurrahman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dilihat dari redaksi secara umum, riwayat shalawat dalam tahmid terbagi kepada tiga macam: Pertama, disertai tahmid dan shalawat. Kedua, disertai tahmid tanpa shalawat. Ketiga, hanya disebutkan berkhutbah tanpa keterangan tahmid dan shalawat.
Dilihat dari mukharrij (pencatat hadits), khutbah ‘Ali di
atas paling banyak, diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abdullah bin
Ahmad. Abdullah bin Ahmad meriwayatkan dari 17 guru yang bersumber dari
empat orang murid Ali bin Abu Thalib: Abu Juhaifah, Abdu Khair bin Yazid
al-Hamdani, Alqamah bin Qais, dan al-Harits.
Setelah memperhatikan: (a) Tarikh periwayatan bahwa khutbah itu
disampaikan oleh Ali pada waktu dan tempat yang sama. (b) Keterangan
tanpa salam dan shalawat diriwayatkan oleh lebih dari 40 orang yang
bersumber dari Abu Juhaifah, Abdu Khair, Ibnu Abas, Alqamah bin Qais,
dan lain-lain. (c) Keterangan dengan salam dan shalawat hanya
diriwayatkan oleh dua orang yang juga bersumber dari Abu Juhaifah
melalui Abu Khalid az-Zayat, dari ‘Aun. Kami berkesimpulan bahwa riwayat
yang menerangkan Ali bershalawat pada versi Abdullah bin Ahmad
statusnya dla’if karena mukhalafah ats-tsiqat (menyalahi rawi-rawi tsiqat) dalam bentuk idraj fil matan
(penambahan kalimat pada matan), yakni kalimat: “bershalawat kepada
Nabi” setelah kalimat “bertahmid kepada Allah dan menyanjung-Nya”.
Penambahan ini bersumber dari murid Abdullah bin Ahmad bernama Ahmad bin Ja’far al-Qathi’i. Dalam riwayat lain diterangkan
خَطَبَ عَلِيُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَوْمًا فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ
r ثُمَّ قَالَ يَا عِبَادَ اللهِ لاَ تَغُرَنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
فَإِنَّهَا دَارُ الْبَلاَءِ مَحْفُوْفَةٌ وَبِالْفَنَاءِ مَعْرُوْفَةٌ
وَبِالْقَدَرِ مَوْصُوفَةٌ وَكُلُّ مَا فِيْهَا إِلَى زَوَالٍ…
Ali bin Abu Thalib berkhutbah pada suatu hari, maka ia bertahmid dan
menyanjung Allah swt serta bershalawat kepada Nabi saw, kemudian
berkata: “Wahai hamba-hamba Allah, janganlah kalian tertipu oleh
kehidupan dunia karena dunia adalah rumah ujian dan bencana yang
diperingan dengan kehancuran telah dimaklum, dengan ukuran yang telah
tetap, dan setiap apa yang ada padanya akan hilang…H.r. Ibnu Asakir, Tarikh Ibnu Asakir, XXXXII:500, Kanzul Ummal, juz XIV, hal. 251; Ahmad bin Marwan ad-Dinuri, al-Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilmi, I:364. Kata Ahmad bin Marwan, “Isnaduhu dha’ifun jiddan (sanad hadits ini sangat daif)
Dengan demikian hadits-hadits yang menunjukkan adanya membaca
shalawat pada tahmid di awal khutbah, kedla’ifannya sangat parah bahkan
ada yang palsu. Apalagi dijadikan rukun khutbah Jum’at sampai dinyatakan
khutbah tidak sah tanpa shalawat. Hal ini sungguh berlebihan, dan jauh
dari dalil-dalil yang shahih.
Adapun tentang penulisan shalawat pada tahmid di dalam kitab-kitab
mulai terjadi pada pertengahan zaman Abasiyyah, karena ternyata dalam
kitab-kitab yang ditulis pada masa sebelumnya tidak ada shalawat pada
permulaannya, seperti Shahih al-Bukhari dan lainnya. Khilafah Abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H/750 M hingga 656 H/1258 M (Lihat, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islami, 1985:46 Lihat pula, Fathul Bari, I:9)
Di dalam kitab Fathul Bari diterangkan: “Kemudian yang
berkata demikian (khutbah tanpa tahmid dan syahadat) karena mereka
melihat imam-imam dari guru-guru Imam al-Bukhari dan guru-guru para guru
al-Bukhari, seperti Malik dalam al-Muwatha, Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, Ahmad dalam al-Musnad hingga tak terhitung lagi banyaknya dari para imam yang memulai karyanya tidak lebih dari basmalah.”
Sumber : http://persis.or.id/shalawat-dalam-khutbah/
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)