-->

Pemimpin Menurut Pandangan Islam

Seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam waktu dekat, di Negara kita akan dilangsungkan pemilihan pemimpin Negara, pemilihan kepala Negara. Dan kemudian muncul beberapa tokoh yang mulai medeklarasikan ataupun mencalonkan dirinya masing-masing untuk menjadi pemimpin Negara, dengan memunculkan terobosan terobosan dan ide-idenya dalam membangun Negara ini kedepannya. Permasalahan yang mungkin terjadi pada masyarakat dewasa ini ialah kurangnya pendidikan politik di lingkungan masyarakat sehingga muncul berbagai bentuk-bentuk kampanye hitam atau yang lebih dikenal dengan black Campaign yang pada ujungnya membuat masyarakat menjadi mudah terbawa terhadap isu-isu tersebut dan memiliki pada akhirnya memiliki pandangan negative terhadap calon calon pemimpin yang ada. Untuk itu pendidikan politik di masyarakat khususnya dalam hal, metoda dan pola pikir masyarakat dalam menentukan pilihan terhadap sosok yang dianggap paling baik sangat diperlukan, islam telah mengatur bagaimana cara atau pola pikir masyarakat agar tidak salah dalam memilih pemimpin.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid 3 menjelaskan bahwa hakikat dari seorang pemimpin adalah “pengaruh” yaitu sejauh mana ia disegani dan dicintai oleh rakyat dengan hati yang iklhas. Rakyat perlu teliti dan jeli dalam memilih calon pemimpin tidak hanya melihat popularitas yang dibangun-bangun oleh sekelompok orang maupun yang diagung-agungkan oleh media massa sehingga jadi terkenal. Mengenal visi dan misi serta latar belakang seorang calon pemimpin itu lebih penting dari pada melihat dari partai mana dia maju sebagai kandidat pemimpin.
Sebelum kita masuk dan membahas tetang bagaimana seharusnya masyarakat melihat dan menilai calon pemimpinnya, kita akan terlebih dahulu membahas apa itu pemimpin.

Pemimpin Dalam Pandangan Islam
KEPEMIMPINAN dalam Islam dikenal dengan istilah imamah, sedangkan pemimpin disebut imam. Kedudukan seorang pemimpin dalam Islam sangatlah penting. Bahkan keberadaannya fardhu kifayah, di mana setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin pun dan pembebanan hukum tersebut terbebas manakala salah seorang dari umat telah terpilih menjadi pemimpin.
Keberadaan seorang pemimpin yang diakui oleh syariat menunjukkan seorang pemimpin itu harus mengerti akan agamanya. Ilmu yang membahas tentang pemerintahan dalam Islam dikenal dengan Fiqh Siyasah.
Islam telah menjelaskan esensi dari pemimpin itu baik dalam al-quran ataupun dalam al-hadits.

Allah berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah: 30)
Rasulullah SAW. bersabda:
Dari Abdullah bin Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:“Masing-masing kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (Presiden) yang memimpin masyarakat adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka.Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin atas ahli (keluarga) di rumahnya, dia akan dimintai pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka. Seorang perempuan(isteri) adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dia akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinannya atas mereka. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dia akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinannya atas harta itu. Ketahuailah masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawabkan kepemimpinan atas yang dipimpinnya”. (HR.Bukhari)
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.




Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :
1.      Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)
2.      Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
3.      Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
4.      Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
5.      Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a. Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
c. Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
d. Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.

Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab

referensi : http://riau1.kemenag.go.id , http://www.al-ulama.net/

Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Disqus Comments
© Copyright 2017 Dzun Al-Fatih | Muda Menginspirasi ! - All Rights Reserved - Created By BLAGIOKE & Kaizen Template - Support KaizenThemes