Terdapat sebuah hadits yang maknanya shahih
(benar), namun didhoifkan (dilemahkan) oleh para ulama pakar hadits,
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ وَ لاَ
صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan
istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan
terus menerus.”
Kalau dosa besar sudah ditaubati, maka janganlah
diikuti dengan dosa lainnya yang semisal, begitu pula janganlah diteruskan
dengan dosa-dosa kecil.
Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah
jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika seorang
hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah.
Sedangkan jika seorang hamba menggaggap kecil (remeh) suatu dosa, maka dosa itu
akan dianggap besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar
suatu dosa, maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ
قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى
ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya
seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan
menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat
dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang
hidungnya.”
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ
فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم - الْمُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di
hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu seperti
dosa besar.”
Bilal bin Sa’ad rahimahullah mengatakan,
“Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, namun hendaklah engkau melihat
siapa yang engkau durhakai.”
Ketiga: Memamerkan suatu dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ
وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ
يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ
كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ
وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang
melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari
melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia
sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini
dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di
pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah
tutup.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan
lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal
dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.”
Sehingga bagi seorang alim yang menjadi panutan
lainnya, hendaknya ia: meninggalkan dosa dan menyembunyikan dosa jika ia
terlanjur melakukannya.
Sebagaimana dosa seorang alim bisa berlipat-lipat
jika ada yang mengikuti melakukan dosa tersebut, maka begitu pula dengan
kebaikan yang ia lakukan. Jika kebaikan tersebut diikuti orang lain, maka
pahalamu akan semakin berlipat untuknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu
diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal
ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran
yang mereka peroleh.”
Semoga Allah selalu memudahkan kita untuk
melaksanakan kebaikan dan menghindarkan kita dari setiap dosa. Amin Ya Mujibas
Saa-ilin.
Disarikan dari penjelasan Ibnu Qudamah Al Maqdisi
rahimahullah dalam kitab Mukhtashor Minhajul Qoshidin, hal. 242, terbitan Darul
‘Aqidah, cetakan pertama, 1426 H
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)