-->

Relativisme kebenaran


Oleh : Dr. Adian Husaini

Banyak kalangan penyebar paham Pluralisme Agama yang menggunakan paham relativisme akal dan relativisme iman sebagai dasar pijakannya. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” [16]

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:
“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.” [17]

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :
‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. [18]

Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:
‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalanjalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’[19]

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia. 

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka terkadang tampak sangat telanjang. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi. 

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini: 

"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu- Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.” [20]

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. [21]

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. [22] Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. [23]

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Iesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. [24]

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. 

Bahkan, tulis Stevri Lumintang: 
‘’...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru....’’ [25]

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91). 


Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.


Referensi :
16. Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150. 
17. Ibid, hal. 58.
18. Ibid, hal. 58.
19. Ibid, hal. 58-59. 
20. Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72. 
21. Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.
22. John L. Allen, JR, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), hal. 165-166. 
23. Joseph Runzo, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), hal. 10. 
24. Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004. 
25. Lihat sinopsis buku Theologia Abu-abu, di www.gandummas.com; dan buku Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19.

Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Disqus Comments
© Copyright 2017 Dzun Al-Fatih | Muda Menginspirasi ! - All Rights Reserved - Created By BLAGIOKE & Kaizen Template - Support KaizenThemes