Oleh : Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
Salah satu persoalan yang hari ini sedang muncul ke permukaan adalah hubungan Sunni-Syiah seiring dengan meletusnya perang di Syiria yang akhirnya menjadi jelas sebagai perang Sunni-Syiah. Kalangan Syiah tidak berani secara terbuka menunjukkan permusuhan mereka kepada Ahlus-Sunnah. Secara politis hal itu hanya akan memunculkan solidaritas Sunni di seluruh dunia untuk melindungi keyakinan mereka; dan apabila solidaritas itu muncul, negara-negara Sunni bersatu bukan tandingan negara Syiah seperti Iran dan rezim Assad di Syiria.
Iran dan Syiah pada umumnya cukup cerdik memainkan media. Mereka masuk ke dalam konflik modern di kalangan umat Islam sendiri. Konflik yang mereka pilih adalah antara pendukung gerakan Muhammad ibn Abdul Wahhab (baca: Wahabi) dengan penentangnya. Umumnya penentang gerakan Wahabi ini adalah kalangan tradisionalis bermazhab Syafii yang memiliki pengikut paling banyak di berbagai belahan dunia. Sementara gerakan Wahabi bukan mainstream. Syiah masuk ke dalam konflik yang sudah cukup lama ini dengan mengambil posisi berlawanan dengan Wahabi.
Posisi ini kelihatannya tidak diambil karena kalangan tradisionalis tidak menolak Syiah, tetapi lebih pada strategi diplomasi dengan kelompok yang lebih besar. Kalangan tradisionalis, sekalipun berkonflik dengan Wahabi, tetapi sebagai Sunni tetap menolak secara mendasar ajaran-ajaran Syiah. Akan tetapi di beberapa tempat, kalangan tradisionalis ini lebih mudah untuk disusupi, walaupun sebenarnya tegas menolak Syiah sehingga Syiah lebih leluasa untuk masuk kepada kelompok ini. Oleh sebab itu, sebagai aksi nyatanya di dalam berbagai media cetak, elektronik, amupun dunia maya Syiah secara atraktif menyebut musuh mereka adalah Wahabi, Salafy, atau Takfiri. Ketiga istilah itu kira-kira ditujukan untuk objek yang sama.
Pemilihan Wahabi sebagai musuh Syiah di media ternyata cukup mengecoh umat Islam. Kalangan tradisionalis yang selama ini memang banyak mengkritik pemikiran dan gerakan Wahabi ini seolah mendapat tenaga untuk kembali mengungkit luka lama. Banyak yang terjebak mendukung Syiah dan menghantam Wahabi yang sama-sama Sunni. Syiah dianggap sebagai mazhab, sementara Wahabi dianggap sempalan. Padahal, sepanjang sejarah tidak pernah kaum Sunni menyebut Syiah sebagai “mazhab” dalam Islam. Bagaimana syubhat ini terjadi, makalah berikut akan mencoba menelusuri silang sengkarut masalah Wahabi dan Syiah ini.
Wahabi dalam Literatur para Pengkritiknya di Indonesia
Belakangan ini literatur tentang tema “Wahabi” dibanjiri dengan banyak buku yang bernada menyudutkan dan menjelek-jelekkan. Tentu saja segera muncul pula buku bantahannya, namun jumlahnya masih tetap lebih banyak yang menyerang Wahabi. Umumnya buku-buku tersebut ditulis oleh penulis dengan nama pena mereka atau nama alias yang tidak dikenal. Secara psikologis ini menunjukkan “ketakutan” penulisnya untuk membuktikan bahwa dirinya memang sedang memperjuangkan sesuatu yang benar. Buku paling fenomenal adalah yang ditulis oleh Syekh Idahram (nama samaran). Buku yang ditulisnya dibuat dalam tiga jilid dengan judul-judul yang bombastik dan berbau fitnah seperti Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagad Menggugat salafi Wahabi. Ada juga buku lain berjudul Radikalisme Sekte Wahabiyyah karangan Syekh Fathi Al-Azhari (nama samara); dan Khawarij dan Dajjal ada di Indonesia tulisan K.H. Alawi Nurul Alam Al-Bantani yang sebelumnya menulis buku stensilan yang cukup menghebohkan warga Bandung berjudul Ustadz Persis Bertanya Al-Bantani Menjawab.
Keenam buku tersebut semuanya berisi caci maki dan tuduhan yang sangat keji terhadap kelompok yang disebut-sebut dalam buku itu sebagai “Wahabi”. Sejak judulnya, buku-buku tersebut sudah berisi kecaman dan tuduhan yang tidak mengenakkan. Apalagi kalau kita masuk ke dalam buku-buku tersebut. Namun sayang seringkali istilah “Wahabi” yang ada dalam buku-buku tersebut amat kabur, tidak jelas entah ke mana arahnya sehingga stigma Wahabi bisa diarahkan kepada siapa saja yang diinginkan oleh penulisnya. Jelas secara ilmiah tulisan-tulisan semacam ini adalah karya picisan dan kacangan, sekalipun pembaca dikelabui dengan sederet catatan kaki berisi rujukan-rujukan yang kelihatannya amat meyakinkan.
Kita lihat misalnya dalam buku Syaikh Idahram yang disebut sebagai Wahabi adalah pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahhab. Terkadang namanya berubah menjadi “Salafi”. Tokoh yang dianggap sebagai rujukan ketika berubah istilahnya menjadi salafi adalah Nashiruddin Al-Albani (Sejarah Berdarah…, hal. 26). Akan tetapi, ujung-ujung ajarannya bermuara kepada Muhammad ibnu Abdil Wahhab sehinga tetap disebut sebagai Wahabi. Mengenai siapa yang layak disebut “Wahabi” di Indonesia, Idahram rupanya tidak terlalu berani untuk menyebut organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sebagai “Wahabi”. Ia hanya menyebutnya sebagai memiliki “kesamaan ide” bukan “kesamaan faham”, tapi tidak dijelaskan apa maksudnya. Ia bahkan tidak memasukkan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut-Tahrir sebagai bagian di dalamnya. Idahram lebih fokus pada tokoh-tokoh yang menamakan dirinya di Indonesia sebagai “salafi” seperti Ja’far Umar Thalib, Umar As-Sewed, Abu Qatadah, dan lainnya. (Sejarah Berdarah… hal. 45). Oleh sebab itu, serangan Idahram lebih diarahkan kepada kelompok “Salafi” dengan seluruh varian dan afiliasinya.
Sementara itu, dalam buku Al-Bantani, istilah Wahabi ia beri garis miring Persis: PERSIS/WAHABI (Persis Bertanya…hal. Pengantar) Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud Wahabi oleh Al-Bantani juga termasuk yang idenya sama seperti Persis, mungkin juga Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Al-Bantani bahkan tidak menyebut satu pun istilah “salafi” pada bukunya yang pertama. Ia baru menyebut istilah itu pada buku keduanya, Khawarij dan Dajjal (Salafi Wahabi) Ada di Indonesia. Cukup mengherankan, pada buku keduanya ia hanya menyebut dua istilah, yaitu “salafi” dan “wahabi”. Tapi sampai akhir bukunya, tidak ada penjelasan tentang frasa “Ada di Indonesia” yang ia tulis di cover bukunya. Ia hanya menjelaskan tentang Muhammad ibn Abdul Wahhab dan kecaman terhadapnya. Buku keduanya ini malah sangat banyak mengutip ketiga buku Idahram.
Ketidakjelasan mengidentifikasi siapa yang dimaksud “Wahabi” dalam berbagai tulisan yang menyudutkan kelompok Wahabi menyebabkan istilah ini menjadi sangat bias. Apalagi ketika sampai di kalangan awam. Dengan mudah orang awam menyebut semua orang yang anti-Maulid dan anti-Tahlilan sebagai Wahabi tanpa mempertimbangkan lagi alasan dan argumentasi yang melatarinya. Pada momen-momen tertentu seperti musim Pilpres, Pilkada, dan Pileg isu semacam ini bahkan seperti diobral untuk menjatuhkan lawan-lawan politik calon tertentu dengan tuduhan “Wahabi”. Akhirnya, istilah “Wahabi” berkembang bukan sebagai sebuah istilah ilmiah yang objektif, melainkan sebagai stigmatisasi negatif. Setiap kali disebut kata “Wahabi” seolah melekat secara otomatis segala konotasi negatif seperti teroris, radikal, keras, intoleran, dan semisalnya.
Memang semenjak pertama kali muncul dalam kosakata umat Islam pada abad ke-19 istilah ini bukan suatu istilah ilmiah, melainkan sebagai stigmatisasi negatif untuk mendiskreditkan gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Uyainah Nejd. Gerakan ini dianggap membahayakan kepentingan kolonialisme di Timur Tengah terutama setelah berhasil mendapatkan back up politik dan militer dari penguasa Uyainah keluarga Ibnu Sa’ud. Klan ini bahkan sanggup menyatukan Nejd dan Hijaz di bawah satu kekuasaan tahun 1924 dan mendirikan Kerajaan Saudi Arabia. Banyak kepentingan kolonialisme yang terganggu oleh gerakan ini sehingga perlu ada upaya pelemahan salah satunya memberikan stigma ideologis negatif terhadap pilihan mazhab penguasa ini, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Untuk kepentingan penciptaan citra buruk pada gerakan ini, maka disebarkanlah berbagai tulisan yang konon dinasabkan kepada suadara Muhammad ibnu Abdul Wahab, yaitu Sulaiman ibnu Abdul Wahab[i]. Ada pula yang mengklaim bahwa Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Masjidil Haram saat keluarga Ibnu Saud berkuasa juga menulis buku yang mengecam ajaran-ajaran Wahabi.[ii] Kecaman terhadap Wahabi ini semakin menjadi-jadi seiring dengan banyak amalan berbagai kelompok yang dikritik oleh dakwah Wahabi seperti perayaan Maulid Nabi, perayaan Isra Mi’raj, membangun kuburan, ziarah kubur orang-orang shaleh, dan semisalnya. Oleh sebab kolaborasi antara kepentingan kolonialisme yang merasa terganggu dengan dakwah Wahhabiyah dengan kelompok umat Islam yang juga merasa amalan-amalan mereka pun telah diotak-atik, maka fitnah terhadap Wahhabiyah pun semakin mendapatkan momentumnya. Setelah terstigmakan secara negatif dengan sangat mudah Wahhabiyah ini dituduh berada di belakang berbagai tindak kejahatan seperti terorisme.
Wahabi dan Syiah
Ketidakjelasan dan stigmatisasi negatif terhadap Wahabi semakin keruh lagi ketika pemain yang ikut menyerang wahabi bertambah, yaitu dari kalangan Syiah. Sebetulnya, bagi Syiah bukan hanya Wahabi yang dianggap sebagai musuh malainkan seluruh Ahlus-Sunnah (baca: Sunni). Akan tetapi, setelah Revolusi Iran tahun 1979, salah satu musuh serius yang dihadapi Syiah adalah dari kalangan Wahabi ini. Oleh sebab itu, stigmatisasi negative yang sudah sejak lama muncul menjadi semakin kencang karena didukung oleh kekuatan Syiah internasional yang sangat tidak senang dengan keberadaan kelompok Sunni yang satu ini.
Kalau memperhatikan berbagai tulisan dari para penulis Syiah kontemporer, permusuhan dan kebencian mereka kepada Wahabi ini terlihat sangat luar biasa besarnya. Akan tetapi, tidak ada argumen baru untuk menyerang Wahabi dari kalangan Syiah, selain yang sudah tersebar sejak awal abad ke-20 seperti yang bisa dibaca dalam buku-buku Idahram dan yang lainnya di atas. Kalangan Syiah ini hanya semakin membesar-besarkan character assassination yang telah lama dialamatkan kepada Wahabi. Syiah hanya memanfaatkan kelompok Sunni yang tidak senang dengan Wahabi untuk semakin memojokkan posisi Wahabi, tapi pada saat yang sama mereka “cuci tangan” atas serangan mereka. Strategi ini selain digunakan untuk melemahkan Wahabi juga untuk memecah-belah Sunni yang secara umum menjadi musuh besar mereka.
Dalam hal ini dapat dilihat kasus buku Syaikh Idahram. Beberapa penulis berkesimpulan bahwa buku Idahram ini diduga kuat dibuat oleh aktivis Syiah atau minimal yang bersimpati pada Syiah dan membenci Wahabi. Faktanya, terhadap Wahabi Syaikh Idahram ini amat benci sampai mebutakan matanya sama sekali terhadap banyak kebenaran yang dibawa oleh Wahabi. Akan tetapi, pada saat yang sama ia menunjukkan simpatinya terhadap Syiah. Beberapa kutipan berikut dari bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi memperlihatkan hal tersebut.
(1). Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an-Najaf Al-Asyraf, namun hanya sampai di As-Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An-Najad, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh (hal. 104-105).
(2). Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), mazhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal. Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh-Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (hal. 208)
Dua kutipan ini cukup menunjukkan bahwa penulisnya adalah Syiah atau—minimal—simpatisan Syiah. Pada kutipan pertama penulis menyebut kata “An-Najaf Al-Asyraf”. Najaf adalah salah satu kota suci orang Syiah. Mereka selalu akan menyebut kota ini dengan sebutan Al-Asyraf (yang paling mulia). Orang Syiah berkeyakinan bahwa kota ini lebih suci daripada kota Mekah dan Madinah. Kalau penulisnya benar-benar Syiah, ia menulis hal in dengan keyakinannya. Bila hanya simpatisan, ia hanya latah saja menyebut kota ini dengan tambahan “al-asraf”. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi berarti orang ini sudah termakan propaganda Syiah mengadu domba kalangan Sunni.
Pada kutipan kedua, jelas sekali penulis menyetujui Syiah dianggap sebagai salah satu mazhab dalam Islam (Mazhab Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Mazhab Syiah Imamiyah), sedangkan Mazhab Salaf yang sering dilontarkan oleh Wahabi ditolak tanpa ada penjelasan apa yang dimaksud mazhab Salaf oleh ulama yang dituding Wahabi oleh penulis ini. Kutipan ini semakin memperjelas kecenderungannya kepada Syiah. Bisa jadi dia adalah Syiah sungguhan yang tengah melakukan propaganda di kalangan Ahlus-Sunnah, atau Sunni yang sudah termakan provokasi Syiah sehingga dia menganggap Syiah lebih baik dan lebih layak dijadikan teman daripada kelompok yang disebutnya sebagai Wahabi.
Kebencian Syiah terhadap Wahabi akan segera dengan mudah ditemukan apabila kita masuk ke dalam website, blog, atau grup di sosial media yang dibuat oleh orang-orang Syiah. Bahkan saat ini sudah hampir menjadi stereotyping di kalangan Syiah bahwa musuh utama mereka adalah Saudi dan Wahabi. Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa Syiah begitu benci terhadap Wahabi.
Pertama, Wahabi dianggap sebagai gerakan paling serius dalam mengungkap ajaran-ajaran Syiah dan segi-segi kesesatannya terhadap umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana dimaklumi bahwa gerakan Wahabi ini berakar pada pemikiran-pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama yang paling serius menguliti Syiah sampai ke akar-akarnya. Buku tebalnya Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah adalah salah satu tulisannya yang membongkar akidah Syiah dan segi-segi kesesatannya dari sudut pandang Islam. Hampir semua kritik terhadap Syiah setelah periode Ibnu Taimiyyah selalu merujuk pada kitab ini. Buku ini berisi argumen ilmiah yang sangat mendasar yang sulit untuk dibantah, sehingga siapa pun yang memahami buku ini dengan baik akan berkesimpulan bahwa Syiah bukan Islam. Kalau buku sampai tersebar luas, maka akan semakin sulit bagi Syiah untuk melancarkan misinya di tengah-tengah umat Islam karena segera akan diketahui bahwa keyakinannya berbeda sama sekali dengan keyakinan Islam.
Kedua, secara sengaja atau tidak ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab yang sangat anti terhadap Syiah ini didukung oleh penguasa Saudi Arabia. Bahkan, kebijakan Saudi soal Syiah pun sangat ketat sampai-sampai Saudi tidak memperkenankan orang Syiah menjadi warga negaranya. Kebijakan ini tentu menyulitkan Syiah untuk melakukan penetrasi ke kota pusat ibadah umat Islam, Mekah dan Madinah. Oleh sebab itu, hampir semua Negara dan gerakan Syiah tidak suka dengan penguasa Saudi Arabia.
Ketiga, secara geopolitik saat ini Saudi Arabia masih tercatat sebagai negara di Teluk Arab yang paling kuat. Salah satu buktinya adalah peristiwa Arab Springs yang melanda berbagai Negara Arab. Satu-satunya negara yang tahan dari guncangan Arab Springs adalah Saudi Arabia. Ini menunjukkan bahwa kekuatan internal Kerajaan Saudi Arabia cukup tangguh. Sebagaimana dimaklumi bahwa Iran tengah berusaha untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah. Negara ini bahkan ingin membangun Imperium Syiah di kawasan ini. Penetrasi ke wilayah ini telah dilakukannya segera setelah revolusi Iran dengan menciptakan gerakan boneka Iran Hizbullah di Libanon. Selain itu, Iran juga terus menjalin hubungan persahabatan sangat erat dengan Rezim Asaad di Syiria. Iran pun mendapat keuntungan besar dari runtuhnya rezim Saddam Hussein di Irak hingga saat ini yang berhasil menjadi penguasa di Irak adalah Syiah. Ganjalan paling seirus yang dihadari Iran dan gerakan Syiah dunia adalah Saudi Arabia. Oleh sebab itu, sekuat tenaga mereka akan melakukan stigmatisasi negatif terhadap Kerajaan Saudi Arabia agar semakin lemat di mata umat Islam.
Keempat, strategi adu domba di kalangan Ahlus-Sunnah. Syiah tahu bahwa di kalangan Ahlus-Sunnah ada yang tidak senang dengan kemunculan gerakan Wahabi di Saudi ini. Sudah sejak lama pula mereka yang tidak setuju melancarkan berbagai serangan negative terhadap Wahabi ini. Salah satu strategi dalam membelah musuh adalah dengan menginjak yang satu dan mengangkat yang lain, mirip seperti membelah bambu. Strategi ini dikenal pula dengan sebutan “strategi belah bambu.” Untuk tujuan ini, secara serius kalangan Syiah memberikan dukungan penuh kepada mereka yang tidak setuju pada gerakan Wahabi. Tidak segan-segan pula menunjukkan persahabatan dan persaudaraan mereka di hadapan kelompok-kelompok yang tidak setuju pada Wahabi ini.
Meluruskan Wahabi-phobia
Sama seperti halnya Islamophobia di Barat yang justru melahirkan kepenasaranan publik Barat terhadap Islam, Wahabi-phobia pun menimbulkan banyak kepenasaranan di kalangan umat. Kepenasaranan seperti inilah yang mengundang orang-orang Barat mempelajari Islam secara objektif. Hasilnya, banyak di antara mereka yang malah tertarik pada Islam dan akhirnya masuk Islam. Terhadap Wahabi pun demikian. Kepenasaranan mengundang orang untuk membaca literatur-literatur yang ditulis oleh para ulama yang dituduh sebagai Wahabi seperti karangan Muhammad ibn Abudl Wahhab sendiri, Abdullah ibn Bazz, Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Jamil Zainu, Shalih Fauzan, dan sebagainya. Bahkan buku-buku Ibnu Taimiyyah yang dianggap sebagai fondasi dasar pemikiran Wahabi pun menjadi salah satu warisan yang banyak dipelajari. Setelah banyak yang membaca tidak sedikit yang akhirnya malah bersimpati. Saat ini dakwah Wahabi atau Salafi justru malah semakin berkembang. Bahkan cenderung lebih atraktif karena mampu mengakses media masa lebih luas seperti radio, televisi, majalah, dan penerbitan buku-buku.
Kelihatannya, dibanding dengan gerakan-gerakan dakwah yang telah ada lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, PUI, Mathla’ul-Anwar, Perti, dan lainnya para aktivis dakwah Salafi ini lebih melek media. Radio dan televisi dakwah yang dimiliki para aktivis Salafi lebih banyak dan beragam jenisnya dari mulai tivi kabel, tivi web, radio, dan sebagainya. Bahkan kini mulai bergerak ke televisi publik melalui berbagai acara bukan hanya pengajian. Program yang paling popular antar lain Khazanah di Trans 7 yang cukup digemari para pemirsa saat ini. Isi programnya sangat dipengaruhi oleh pendapat-pendapat aktivis dakwah Salafi-Wahabi. Pemanfaatan media yang sangat spektakuler adalah penerbitan buku. Hampir 70 persen lebih penerbitan buku-buku Islam didominasi oleh para aktivis Salafi, baik kerangan langsung maupun terjemahan.
Abdul Moqsith Ghazali, tokoh Liberal NU, mengakui salah satu kelebihan dakwah Wahabi—sepanjang yang disebut Wahabi adalah “salafi” yang merujuk kepada ulama-ulama di atas—ini adalah mampu mengkongkritkan konsep tauhid yang terlampau abstrak. Teologi tauhid ala Sunni, kata Moqsith, adalah sangat rumit sebanding dengan konsep teologi Katholik-Romawi. Di tangan orang-orang Wahabi, konsep tauhid yang tadinya rumit dan abstrak itu menjadi lebih sederhana dan lebih konkrit. Orang-orang Wahabi tidak mau bermain dengan filsafat dan definisi-definisi yang rumit sehingga ajarannya mudah dicerna oleh awam. Mengenai hal ini disampaikan Moqsith dalam bedah buku karya Idahram di Litbang Departemen Agama 11 Juni 2011. (AM Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi, hal. 93).
Karena kelebihan itulah setelah karya-karya ulama Wahabi itu diterbitkan dalam edisi terjemahan dan dibaca banyak yang akhirnya tertarik. Konsepnya yang sederhana, aplikatif, dan meyakinkan membuat ajaran-ajaran mereka mudah diterima. Selain itu, karena dalam menggerakkan dakwahnya di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, gerakan ini bersifat sangat filantropis, maka semakin banyak orang yang bersimpati. Gerakan dakwah Wahabi inilah yang saat ini banyak mendirikan pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tanpa berbayar sedikit pun. Di mana-mana mendirikan masjid tanpa meminta dana kepada masyarakat sekitar, membangun asrama anak-anak yatim, membagi-bagikan hewan qurban, membagi-bagikan ifthar gratis, menyumbang untuk bencana alam, dan sebagainya. Gerakan filantropis kelompk dakwah inilah yang semakin meyakinkan umat terhadap dakwah Wahabi.
Apa yang dituduhkan dan difitnahkan kepada kelompok ini sebagian besar tidak terbukti di lapangan. Bahkan ketika terorisme muncul ke permukaan dan dituduhkan kepada Wahabi, segera muncul bantahan dan penjelasan dari para ulama Wahabi ini tentang sikap dan pandangan mereka atas pengeboman, jihad, dan sebagainya. Sekalipun begitu, stigma terorisme tetap diasal-usulkan pada Wahabi dengan istilah lain, yaitu adanya kelompok “Salafi Jihadi” atau “Wahabi Jihadi”, waluapun varian ini kelihatannya agak dipaksakan. Mengenai varian baru Wahabi ini tentu butuh penjelasan ilmiah panjang dan perlu diuji secara serius. Apalagi sejak awal memang definisi apa yang disebut “Wahabi” dan “Salafi” pun tidak begitu jelas.
Hal lain yang juga menarik dari gerakan dakwah ini adalah sifatnya yang cair dan tidak mau mengikatkan diri pada organisasi gerakan tertentu, baik yang bersifat local, regional, maupun global. Orang hanya diajak untuk mengikuti ajaran yang disampaikan tanpa harus dibaiat menjadi anggota organisasi atau partai tertentu. Ini berlainan dengan sebagian gerakan dakwah Islam di Indonesia. Umumnya gerakan dakwah mengorganisasikan diri sehingga ada kecenderungan orang-orang yang didakwahi takut untuk diajak masuk organisasinya, padahal belum mendengar apa yang disampaikan. Berlainan dengan dakwah Salafi-Wahabi yang cenderung cair. Ini menjadi keuntungan tersendiri sehingga dakwah ini dapat masuk ke wilayah manapun tanpa takut diajak masuk organisasi tertentu. Dengan cara ini, sebagian masyarakat menjadi tertarik dengan ajaran-ajarannya.
Namun demikian, sebagai kelompok dakwah, sekalipun tidak mengorganisasikan diri secara khusus dakwah Salafi-Wahabi ini tetap secara sosiologis harus menerima kategori tertentu di tengah masyarakat sebagai “kelompok” yang memiliki karakter dan ciri khas tertentu, terutama ketika yang bersangkutan tidak mau bergabung dengan kelompok manapun yang sudah ada. Kategori ini secara tidak langsung telah membentuk jamaah pengajian Salafi-Wahabi komunitas tersendiri yang terpisah dari komunitas lain sekalipun pada praktiknya tidak memiliki organisasi yang terstruktur.
Realitas ini tentu saja akan memaksa kelompok dakwah ini harus berdampingan dengan kelompok-kelompok dakwah lain yang sudah terlebih dahulu mengorganisasikan diri. Sekalipun banyak ide-ide dari para ulama pelopor dakwah Salafi-Wahabi yang digunakan oleh gerakan dakwah lain, namun dalam ranah pergaulan sosial kelompok Salafi-Wahabi ini akan dianggap sebagai “orang lain” yang datang belakangan. Oleh sebab itu akan berlaku hukum pergaulan seperti dengan organisasi atau kelompok lain pada umumnya. Akan ada yang tidak senang karena ada posisi dan aset yang terganggu; akan ada yang tersinggung karena disinggung beberapa hal yang sensitif. Ketegangan juga bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan intensif sehingga kelompok dakwah ini dapat berdampingan dengan yang lainnya.
Ketidaksenangan beberapa ormas yang merasa terganggu dengan kehadiran para da’i Salafi-Wahabi ini tidak menutup kemungkinan memunculkan kembali isu lama yang mencoba menyudutkan gerakan dakwah ini seperti yang terjadi pada awal kemunculan dakwah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Tuduhan-tuduhan miring kaum kolonial terhadap kelompok Wahabi ini pasti akan muncul kembali seperti tuduhan aliran sesat yang bukan Ahlus-Sunnah, khawarij, antek kolonial, dan sebagainya. Isu semacam ini sudah banyak diklarifikasi oleh para penulis dan aktivis dakwah Wahabi sebagaimana secara umum sebagiannya akan dikutip pada tulisan ini.
‘Ala kulli hâl, kemunculan kelompok dakwah Salafi-Wahabi ini adalah merupakan varian dalam pengembangan dan perluasan dakwah di dunia ini yang harus diapresiasi. Persoalan ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal dengan kelompok dakwah lain adalah sesuatu yang lumrah sepanjang yang menjadi objek ikhtilaf adalah perkara-perkara furu’iyyah. Memang ada masalah akidah yang juga diperdebatkan, namun bukan materi akidah yang ushûl, muttafaq, dan qath’i, melainkan masalah akidah yang sifatnya furû’iyyah. Ini tentu saja harus menjadi sesuatu yang dimaklumi. Pendapat kelompok ini jangan terlebih dahulu ditolak sebelum ditelaah apa yang dibicarakannya sehingga dapat terjadi mutual-understanding saat berhadapan dengan kolompok ini.
Persis dan Salafi-Wahabi: Sebuah Evaluasi
Kalau kemudian kita kembali ke Persis ada dua hal yang perlu diperbincangkan. Pertama, Salafi-Wahabi sejak awal sebetulnya merupakan dakwah yang hanya bersifat “penyebaran ide” dan tidak memestikan harus mengorganisasikan diri dalam sebuh ormas, yayasan, atau organisasi apa saja. Oleh sebab itu, dakwah semacam ini akan dapat meresap masuk ke mana saja secara ide, termasuk tidak menutup kemungkinan masuk ke jamaah Persis. Kedua, dalam perkembangan sejarahnya Persis sebetulnya pernah muncul sebagai gerakan ide, namun kemudian berkembang mengorganisasi diri sehingga ide-ide yang disebarkan Persis menjadi banyak yang terhambat barrier psikologis sebagai ormas. Sebagian orang banyak yang tidak mau mengikuti lebih lanjut dakwah Persis karena takut diminta untuk masuk menjadi anggota Persis. Padahal, secara ide sebetulnya banyak sisi menarik dari pemikiran-pemikiran Persis bagi umat.
Dua hal di atas dapat menimbulkan hubungan-hubungan yang menegangkan dan menguntungkan sekaligus, baik bagi Persis maupun bagi dakwah Salafi ini. Dalam hubungan ini ada fenomena-fenomena menarik yang perlu dievaluasi sebagai berikut. Pertama, secara ide sesungguhnya—seperti dikatakan Idahram dalam bukunya—antara pemikiran Persis dan dakwah Salafi-Wahabi banyak kesamaannya, terutama menyangkut doktrin kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Persis dan dakwah Salafi-Wahabi sama-sama bersikap sangat kuat berpegang pada teks Al-Quran maupun hadis. Inilah yang menyebabkan sebelum menyebarnya dakwah Salafi-Wahabi pada tahun 1990-an, Persis lebih dahulu dikenal sebagai pelopor pembaharuan dakwah Islam yang harus merujuk secara tekstual langsung kepada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Ini pula pada awal sejarahnya Persis “dihuni” bukan hanya oleh tokoh yang lahir di Persis tetapi juga oleh tokoh organisasi lain yang memiliki kesamaan pandangan seperti Munawwar Kholil (Muhammadiyah), Sabirin (SI), Hasby Ash-Shiddiqi (PUSA/Muhammadiyah), dan sebagainya. Lebih hebat lagi, majalah-majalah Persis seperti Al-Lisân, Pembela Islam, Al-Muslimun, dan Risalah sampi awal tahun 1990-an dilanggan bukan hanya oleh anggota Persis, tetapi oleh siapa saja yang setuju dengan pemikiran Persis dari berbagai aktivis orgnanisasi maupun non-organisasi.
Akan tetapi, setelah gerakan dakwah Salafi-Wahabi muncul dan Persis semakin “berorientasi internal” dengan semakin mengedepankan identitas keorganisasian daripada dakwah, maka sedikit demi sedikit Persis semakin ditinggalkan umat yang bukan Persis. Mereka yang sebelumnya melanggan Al-Muslimun dan Risalah banyak yang mulai beralih ke majalah-majalah Salafi-Wahabi seperti Salafy, As-Sunnah, Al-Furqon, Qiblati, dan sebagainya yang model pembahasan dan penyajiannya banyak meniru Al-Muslimun dan Risalah. Jelas secara finansial ini sangat memukul oplah kedua majalah Persis ini sampai akhirnya Al-Muslimun terpaksa harus gulung tikar pada tahun 2005-an. Di samping itu, secara penyajian majalah-majalah Salafi cenderung lebih meyakinkan, baik dari segi penampilan dan terutama penyajian rujukan dalam menjawab persoalan-persoalan yang tengah actual dihadapi masayarakat. Sementara majalah Persis, terlihat tidak tampil secara lebih meyakinkan.
Dahulu sampai sekitar tahun 1980-an, buku-buku agama banyak didominasi oleh tulisan-tulisan aktivis Persis seperti A. Hassan, Abdul Kadir Hasan, Fuad R. Fakhrudin (pelopor penerjemahan Shahih Bukhori dan Shahih Muslim), Komarudin Sholeh, E. Abdurrahman, dan lainnya. Tahun 1990-an mulai muncul era buku terjemahan. Kelebihan para aktivis dakwah Salafi ini adalah kemampuan bahasa Arab yang baik dan akses yang mudah terhadap kitab-kitab berbahasa Arab karena umumnya mereka adalah alumni Timur Tengah. Oleh sebab itu, bak cendawan di musim hujan segera bermunculan penerbit-penerbit berhaluan Salafi menerbitkan ratusan bahkan ribuan buku-buku terjemahan. Semua buku yang ditulis para ulama Salafi di Saudi, Mesir, maupun Yaman sudah dialihbahasan ke dalam bahasa Indonesia. Karena jumlahnya sangat massif dan spketauler, buku-buku tulisan ulama Persis semakin tenggelam. Bahkan, sampai hari ini usaha-usaha ke arah revitalisasi kembali tradisi penulisan buku di Persis masih sangat lemah. Entah kapan akan bangkit kembali dan mendominasi lagi pasar buku di Indonesia. Para pembeli dan pembaca buku di Indonesia seolah-olah didikte untuk membeli buku-buku Salafi itu. Fenomena ini, selain menyebabkan dakwah Salafi-Wahabi semakin berkembang, juga semakin banyak orang yang bersimpati karena ternyata tidak terbukti dalam buku-buku mereka apa yang dituduhkan kepada Wahabi ini.
Kedua, saat awal kemunculannya banyak tokoh dan ulama Persis yang merasa “kaget” dengan serbuan dakwah para aktivis Salafi-Wahabi di pasar dakwah yang selama ini banyak digarap oleh Persis. Reaksi kaget umumnya adalah berteriak keras. Inilah yang juga di Persis. Banyak tokoh dan ulama Persis yang berteriak keras pada kelompok ini. Bahkan pada tahun 2008 sempat diadakan dialog antara Salafi vs Persis yang diadakan oleh PW Persis Jawa Barat. Dihadirkan pada dialog itu tokoh-tokoh Salafi seperti Amir bin Hakim Abdat, Abu Qotadah, dan lainnya berhadapan dengan ulama-ulama Persis seperti Ust. Aceng Zakaria, Ust. Usman Sholehuddin, Ust. M. Romli, Ust. Ikin Sodikin, dan lainnya. Dialog itu sesungguhnya tidak menghasilkan apa-apa selain terjadi caci-maki setelahnya di kedua belah pihak. Dalam buku Al-Masaa’il Hakim Abdat menyebut secara kasar ulama-ulama Persis sebagai bodoh, jahil, dan semisalnya. Dibalas kemudian oleh tokoh muda Persis Amin Muchtar yang menerbitkan buku berjudul Emosi Oknum Salafi yang menanggapi isi buku Hakim Abdat juga secara kasar.
Reaksi semacam itu, selain tidak produktif, juga sebetulnya tidak harus terjadi. Sebab, secara prinsipil ide dasar Persis dan Salafi tidak jauh berbeda hingga akhirnya yang banyak dipersoalkan hanya sebatas persoalan furu’iyyah yang juga di kalangan ulama Salafi sendiri tidak selalu sama seperti masalah jenggot, isbâl, tarawih 2-2 dan 4-4, batas 11 dalam rakaat qiyamul-lain, dan hal-hal sangat kecil lainnya. Kalau dulu dengan NU, Persis berdebat furu’ yang melibatkan penilaian bahwa banyak amaliah NU yang tidak berlandasarkan dalil Qur’an maupun Sunnah, kini dengan Salafi lebih banyak berdebat soal penafsiran hadis yang sama. Bahkan, Salafi cenderung lebih teliti dan lebih ahli dalam soal hadis ini. Kalau terus dikembangkan di kalangan awam diskusi-diskusi itu malah hanya menghabis-habiskan waktu dan tidak menyentuh substansi persoalan dakwah umat yang sebenarnya.
Ketiga, karena kesamaan ide dasar antara Persis dan Salafi-Wahabi ini, sebetulnya Persis sejak awal memiliki hubungan baik dengan gerakan dakwah ini. Banyak alumni-alumni Pesantren Persis yang direkomendasikan untuk berkuliah di perguruan tinggi “berstempel” Wahabi seperti LIPIA Jakarta, Universitas Islam Madinah, Universitas Ummul-Quro Mekkah, Universitas Ibnu Sa’ud Riyadh, dan lainnya. Tidak sedikit alumni-alumni Persis yang berkuliah di sana kembali mengabdi di alamamaternya, selain juga tidak sedikit yang memilih beraktivitas di tempat lain. Saat kembali harus diakui bahwa penguasaan mereka terhadap literature-literatur Dirasah Islamiyah lebih baik dibanding dengan yang berkuliah di PTAI lokal di Indonesia atau yang hanya mengaji secara tradisional kepada para ulama Persis yang ada. Bahasa Arab mereka kuasai dengan sangat baik hingga akses terhadap komunitas Arab pun baik pula hingga selain memiliki kemampuan mengkaji lebih baik, juga bisa mengakses jaringan Timur Tengah lebih baik. Hanya sayang, belum terlihat alumni-alumni Salafi dari Persis yang kemudian aktif di Persis menjadi penulis-penulis hebat hingga tidak banyak jejak pemikiran yang bisa dibaca.
Dari rekam jejak sejarah ini, sebetulnya Persis dapat memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang diselenggarakan oleh para aktivis dakwah Salafi ini. Umumnya mereka tidak akan mempersoalkan latar belakang organisasi karena memang tidak ada tradisi itu dalam gerakan mereka berbeda dengan tradisi Ikhwanul-Muslimin atau Hizbut-Tahrir. Belajar di perguruan tinggi Salafi tidak serta merta membuat mereka harus bergabung dengan organisasi Salafi karena memang tidak ada. Mereka bahkan bisa kembali ke Persis, namun perlu komunikasi yang baik untuk meyakinkan mereka bahwa Persis adalah tempat yang mungkin untuk mereka berkiprah dalam dakwah. Pada saat bergabung, biasakan diskusi secara terbuka dengan mereka untuk mendapatkan dua manfaat sekaligus, yaitu menggali informasi-informasi baru dari mereka dan memahamkan mereka tentang tradisi Persis yang telah terbentuk sejak lama. Cara ini akan semakin membuat aktivis Salafi alumni Persis ini berfikir dan bertindak lebih kontekstual sesuai dengan bi’ah manyarakat Persis. Dengan cara begini, maka salah satu keinginan Persis untuk meregenerasi calon-calon ulama bisa dilakukan dengan baik melalui salah satu varian ini.
Persoalan tuduhan-tuduhan miring terhadap Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab dan Wahabiyah, sudah banyak yang mengklarifikasi dari berbagai sudut pandang. Oleh sebab itu, Persis tidak perlu takut mendapat stigma negatif bila bekerja sama dalam dakwah dengan kelompok Salafi-Wahabi ini. Klaim-klaim kesesatan Wahabi hanyalah isu murahan yang dihembuskan musuh-musuh Islam untuk semakin memperkeruh suasana di kalangan umat Islam. Sungguh itu merupakan isu yang sangat tidak produktif. Bersama artikel ini dilampirkan beberapa klarifikasi atas tuduhan terhadap Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab yang dikutip dari beberapa buku. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.
Kutipan Lampiran
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahabi
Tuduhan: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkufurkan kaum Muslimin. Salah satu dari ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab adalah mengkufurkan kaum Muslim Sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, Maulid Nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan Ahlussunnah wal Jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Bantahan : Tuduhan di atas telah dijawab oleh Syeikh Husain bin Ghannam bahwasanya Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah mengkafirkan kaum Muslimin. Bahkan sebaliknya musuhnyalah yang mengkafirkan beilau dan menghalalkan darah beliau. Tatkalah beliau menampakkan dakwah Tauhid pada saat manusia telah mabuk cinta dengan kemaksiatan dan dosa, beliau tidak tergesa-gesa mengkafirkan orang-orang tersebut bahkan beliau sangat berhati-hati ketika maju ke dalam medan tersebut sehingga musuhnya bangkit melawannya dan berteriak mengkafirkannya beserta para pengikutnya di setiap negri. Mereka tidak berhati-hati dalam memikul kebohongan, bahkan bergitu cepat mereka mengusung ucapan keji tersebut. Sekalipun demikian, Syeikh tidak menyuruh pertumpahan darah dan peperangan dalam menghadapai hawa nafsu dan kesesatan mereka.[iii]
Tuduhan: uhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi, ingkar terhadap hadits Nabi, merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan: Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Saw. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Saw, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad ataupun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman pada syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Saw. kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha’in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118).
Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al–Wansyarisi, juz 11.
Bantahan: Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, ini sangat keliru. Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani. Lebih dari itu Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.” Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H/Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara pada masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Tambahan lagi, sikap Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata–dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji’ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji’ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha’in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
Tuduhan: Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berdakwah dengan meratakan kubah yang didirikan di atas kuburan sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah.
Bantahan:sesungguhnya menghancurkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan adalah kewajiban seluruh kaum Muslimin, dalam rangka mengamalkan sabda Nabi SAW, “Janganlah kalian membiarkan kuburan yang dibangun bangunan di atasnya kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim).[iv]
Tuduhan: Fitnah Nejd: Hadits Nabi SAW mengisyaratkan akan datangnya faham Wahhabi. Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits. Ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Muslim dan lainnya. Diantaranya: “Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,” sambil menunjuk ke arah timur (Nejd). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan)
Bantahan: para ulama Ahli Sunnah berkata bahwasanya Nejd yang terdapat pada hadits hadits Shahih di atas, bukanlah Nejd yang ada dekat Hijaz di Saudai Arabia sekarang, akan tetapi yang dimaksud hadits tersebut adalah Nejd daerah timur yaitu Iraq. Al-Khatabi berkata dalam I’lam Sunan, “Nejd: arah timur, bagi penduduk kota Madinah, Nejd adalah Iraq dan sekitarnya.” Dengan demikian, maka jelaslah bahwa tuduhan ini bukanlah maksud dari Nejd tempat Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan, melainkan untuk semua tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Oleh sebab itu, Nejd yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali. Jadi Nejd yang merupakan tempat munculnya Fitnah adalah Iraq.[v]
[i] Sulaiman ibnu Abdil Wahhab konon menulis buku berjudul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Akan tetapi, buku ini diragukan ditulis oleh saudara Muhamamd Ibnu abdil Wahhab.
[ii] Ulama ini konon menulis buku tentang Wahabi antara lain Ad-Durar As-Saniyyah fi ar-Rad ‘ala al-Wahhabiyah dan Fitnah Al-Wahhabiyah.
[iii] Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Meluruskan Sejarah Wahhabi, Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2006, Cet. I, hal. 152
[iv] Muhammad bin Jamil Zainu, Ada Apa Dengan Wahabi, Terjemah; Abu Ayyub, Bekasi: Al-Ghuroba, 2009, Cet.I, hal.84
[v] Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Meluruskan Sejarah Wahhaby, Op.Cit, hal. 167
Sumber:
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)