diam-diam menyusup ke relung hati
membawa jiwa melayang ke awan
membiarkan diri terbuai mimpi
nama kekasih mulai menghiasi kepala
nama Yang Satu perlahan terlupa
uluran tangan kekasih disambut suka cita
genggaman tangan-Nya dilepaskan begitu saja
hadirnya cinta tlah membuat buta
tak hanya mata, tapi juga hati
cahaya hidayah sirna perlahan
meredup hingga akhirnya benar-benar padam
baju muslimah rela ditanggalkan
cinta kekasih tlah menjadi pilihan
tujuan hidup sudah berbelok arah
langkah kaki tak lagi menuju jalan-Nya
Saat saya masih duduk di bangku kuliah, saya akrab dengan seorang senior saya. Namanya Dewi (bukan nama sebenarnya-red). Keakraban itu dimulai ketika Kak Dewi sering mengikuti mata perkuliahan di kelas saya, karena dulu dia sempat cuti kuliah satu setengah tahun lamanya karena sakit. Dan makin hari saya dan dia makin akrab karena kebetulan rumah saya dan dia satu arah, jadi saat pulang kuliah kami sering satu angkot. Bahkan kalau jadwal kuliah kami sama, maka kami pun janjian pulang bersama.
Keakraban itu pun semakin erat layaknya adik-kakak. Dan saya memang sudah menganggap dia seperti kakak perempuan saya sendiri. Di kampus kami sering sholat bersama karena kebetulan perkuliahan di kampus saya sering diadakan jam dua siang sampai jam enam sore, bahkan ada sampai jam 7 malam. Kami biasa melewati sholat Ashar dan Maghrib bersama. Saat saya lupa bawa mukenah, maka saya akan meminjam punya dia, begitu juga sebaliknya.
Kak Dewi di wisuda setengah tahun lebih dulu daripada saya. Setelah itu dia pergi ke kota Pekanbaru karena mendapat tawaran kerja disana. Beberapa bulan setelah saya wisuda, akhirnya saya juga memutuskan merantau ke kota Pekanbaru, dan alhamdulillah saya mendapatkan pekerjaan. Disana saya ngekost berdua dengan Kak Dewi. Kami melewati hari-hari bersama. Bahkan bulan puasa pertama saya tanpa orang tua, saya lewati bersama dia, sehingga kami sama-sama tidak merasa kesepian.
Beberapa bulan kemudian, Kak Dewi berkenalan dengan seorang laki-laki bernama Tio (bukan nama sebenarnya-red). Perkenalan itu membuat mereka sangat akrab. Kak Dewi sering diantar ke kost-an oleh Mas Tio setiap dia pulang kerja. Tapi Kak Dewi pernah mengatakan kepada saya, kalau Mas Tio sepertinya memiliki keyakinan yang berbeda dengan kami, karena di mobil Mas Tio ada lambang salib. Dan akhirnya, lewat cerita dari Mas Tio itu sendiri, ternyata dia memang berbeda keyakinan dengan kami.
Tapi yang membuat saya kaget, suatu malam tiba-tiba Kak Dewi mengatakan kepada saya kalau dia jadian (baca: pacaran) dengan Mas Tio. Saya protes karena sudah jelas beda keyakinan kenapa dijalani. Tapi Kak Dewi mengatakan kalau cintanya kepada Mas Tio hanya 5%. Nanti dia juga akan putus. Namun jujur, saya tidak yakin dengan kata-katanya. Karena menurut saya, cinta itu sama seperti tanaman. Jika rajin disiram, suatu hari nanti akan berbunga dengan indah. Kebersamaan yang dijalani dengan intens akan membuat rasa cinta yang tadi hanya 5% bisa berkembang menjadi 100%.
Dan saya benar. Beberapa bulan berlalu, mereka semakin tak bisa dipisahkan. Kak Dewi tidak pernah bisa mengatakan kata putus karena dia semakin cinta kepada Mas Tio. Yang membuat saya heran, dia sempat menyalahkan takdir, kenapa Allah mendekatkannya dengan orang yang beda keyakinan. Padahal seharusnya ia bisa merubah takdirnya jika dia mau, yaitu jika dia segera memutuskan hubungannya dengan Mas Tio.
Menurut saya, Mas Tio itu hanyalah sebuah ujian yang diberikan Allah. Tapi sayang, bukannya bisa melewati ujian tersebut, yang terjadi malah sebaliknya, perangkap cinta telah membuat Kak Dewi bertekuk lutut dan tak berdaya. Bahkan, ketika keluarga Kak Dewi tahu Mas Tio beda keyakinan dengan mereka, mereka pun menyuruh Kak Dewi untuk memutuskan hubungan tersebut. Tapi Kak Dewi tidak pernah bisa, bahkan tidak sengaja saya pernah melihat dia menangis setelah menerima telpon dari orang tuanya yang menyuruhnya putus dengan Mas Tio.
Saya dan seorang teman kantornya Kak Dewi yang bernama Mbak Vivi (bukan nama sebenarnya-red) sering menasehati Kak Dewi, bahkan ketika Kak Dewi pernah melontarkan kata-kata 'kalau tidak bisa menikah di indonesia, ia akan menikah diluar negeri'. Tentu saja saya dan Mbak Vivi kaget mendengar kata-katanya. Kami pun mengatakan kalau sepengetahuan kami, menikah beda keyakinan haram hukumnya. Itu sama dengan zina. Dan untuk meyakinkan dia, kami menyarankan dia untuk berkonsultasi kepada Ustadz agar tidak salah langkah.
Dua tahun di Pekanbaru, kemudian saya memutuskan pindah ke Jakarta karena saya mendapat tawaran kerja di sana. Dan saya pun berpisah dengan Kak Dewi. Tapi tali silaturahmi kami alhamdulillah tetap terjalin dengan baik lewat email dan sms. Saya juga sering mengirimi dia artikel-artikel islami yang saya dapat dari teman ataupun milis dengan harapan dengan membaca artikel-artikel tersebut hatinya akan tergugah dan semakin banyak tahu tentang agama. Dan saya terus berharap dan senantiasa berdoa semoga dia tetap di jalan Allah.
Hingga pada suatu hari, disaat saya sudah setahun di Jakarta, saya menerima email dari Mbak Vivi. Dia menulis, "Aku sedih melihat Dewi. Kok dia mau-maunya pindah agama?". Saya shocked! Berita itu benar-benar membuat saya serasa berhenti bernafas. Adik mana yang tidak shocked ketika mendengar kakaknya pindah agama? Muslimah mana yang tidak sedih ketika kehilangan saudara seiman, yang dulunya biasa sholat dan puasa bersama?
Kegiatan sholat dan puasa bersama yang kami lakukan dulu tiba-tiba menari-nari dibenak saya. Sekarang kami tidak akan bisa mengulangi lagi masa-masa itu. Air mata saya tumpah. Saya sangat sedih sekali. Segera saya mengkonfirmasi berita itu kepada Kak Dewi. Dan Kak Dewi membenarkan, malah dia meminta maaf kepada saya karena tidak memberitahu saya lebih awal. Saya bilang kepadanya saya sangat sedih dengan semua ini. Saya juga bilang bahwa saya merasa bersalah kepada keluarganya, karena saya merasa tidak bisa menjaga dia dengan baik. Tapi dia mengatakan kalau itu bukan salah saya. Ini jalan yang telah dia pilih, dan biarlah dia yang nantinya akan menanggung resikonya.
Saya tak henti-hentinya menangis. Saya masih tidak percaya dengan kejadian yang dialami Kak Dewi. Apalagi sekarang Kak Dewi benar-benar telah menikah dengan Mas Tio. Saya masih berharap ini hanya mimpi. Tapi saya sadar, ini semua bukan sekedar mimpi, tapi ini benar-benar terjadi. Apa yang saya takutkan ternyata menjadi kenyataan.
Jujur, saya sempat dihantui perasaan bersalah. Tapi kemudian keluarga dan teman-teman dekat yang tahu masalah ini menyuruh saya tabah. Dan kata mereka ini bukan salahnya saya. Allah Maha Tahu siapa orang-orang yang benar-benar mau menerima hidayah-Nya. Jadi jika Kak Dewi lari dari hidayah Allah, itu karena kesalahnnya sendiri, bukan karena kesalahan saya, sebab saya sudah mengingatkan dia sejak awal. Selama ini cahaya hidayah itu ada dihatinya, tapi kemudian dia sendiri yang membiarkan cahaya hidayah itu redup, hingga benar-benar mati dengan sendirinya.
Dan kejadian tersebut mengajarkan saya satu hal, bahwa seringkali cinta membutakan hati manusia jika si manusianya tidak bisa menyikapi rasa cinta tersebut dengan cara yang tepat dan bijak. Hati yang buta karena cinta seringkali membuat si manusia mau melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya. Bahkan cintanya kepada seseorang mampu menghilangkan cintanya kepada Sang Penciptanya. Na'udzubillah.
Agustus 2006 yang penuh air mata
Oleh: Wesy 'Cici'
Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)