-->

Motivasi dari Ayah, Oleh Ibu, Untukku



*Untuk Bapak yang selalu tegar.
*Untuk Mamah yang selalu memberi pengertian.
*Untuk Adikku yang selalu menjaga keduanya selama aku jauh dalam perantauan.

Senja itu aku mengeluh pada ibuku. Senja itu aku benar-benar hilang arah. Motivasi hidupku seakan lenyap tak terjamah lagi. Dibalik tangis akupun berkata, "Ibu, Mengapa Allah mengambil sesuatu dalam genggamanku?". Dibalik telepon Dia menjawab dengan penuh ketegaran, "Puteriku, karena Allah ingin membuka genggamanmu agar kamu menerima yang lebih baik daripada itu, bersabarlah, Nak". Aku terdiam sejenak. Suara ayahku terdengar bertanya berbisik di balik telepon. "Ada apa? Kenapa?".
"Puteriku, ibu mau cerita sesuatu, Nak. Boleh?", sambil menghela nafas dalam-dalam. "Ini sebagai motivasi buat Teteh, ini sebagai rasa syukur kita kepada Allah".

Dan, inilah kutipan Cerita ibuku, ku jadikan goresan sympony dalam harmoni:

Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?

Semasa kecil, ibukulah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tau bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih, ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku. Saat aku sakit demam, ayah membentakku “Sudah diberitahu, Jangan minum es!” Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu. Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.


Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “Tidak boleh! ”Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku? Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.

Maka kadang aku melanggar kepercayaannya. Ayahlah yang setia menunggu aku diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, ''dimana, dan sedang apa aku diluar sana.'' Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayahlah yang berkata: Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama.

Disaat aku merengek memerlukan ini – itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya, dan cuma berpikir, kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.

Saat aku berjaya. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayahlah yang mengabari sanak saudara, ''anakku sekarang sukses.'' Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itu pun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.

Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan doanya ibu, cuma bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya. Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati – hati mengizinkannya.

Dan akhirnya, saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis? Ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan beliau pun berdoa, “Ya Alloh, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya.

''Pesan ibu ke anak untuk seorang Ayah''

Anakku..

Memang ayah tidak mengandungmu,
tapi darahnya mengalir di darahmu, namanya melekat dinamamu ...
Memang ayah tak melahirkanmu,
Memang ayah tak menyusuimu,
tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu ...

Nak..

Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,
tapi tahukah kau dalam do'anya selalu ada namamu disebutnya ...
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman...

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat ibu, karena kecintaanya dia takut tak sanggup melepaskanmu...
Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..

Ibu hanya ingin kau tahu nak..
bahwa...
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta ibu..
Anakku...
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu.

--> Dalam diam akupun menangis. Sekilas terfikir, masihkah ayahku ada diseberang telepon sana. Tiba-tiba suaranya terdengar di telingaku,
"Assalamu'alaikum, teh?", isak tangisnya membuat hatiku pilu.
"Wa'alaikumussalam, Ayah".
"Teh, Allah itu tidak pernah tidur. Yakinlah tegar, maka Allah akan memberi ketegaran".
Aku diam.
Masih Diam.
kemudian Ayah bilang, "Ayah sayang teteh, Ayah dan Ibu kangen Teteh. Selamat berbuka puasa ya, nak? Ingat, Allah-lah tempat kita mengadu. Assalamu'alaikum?".

Dibalik Adzan magrib itu aku termenung. Ada sedikit celah terbuka. celah itu adalah motivasi yang muncul semakin besar. sekarang, bukanlah saatnya aku mengeluh, tapi saatnya aku berjuang.
Hammasah


oleh : Mira Lestari 

Silakan dishare, Semoga bermanfaat.. :)

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Disqus Comments
© Copyright 2017 Dzun Al-Fatih | Muda Menginspirasi ! - All Rights Reserved - Created By BLAGIOKE & Kaizen Template - Support KaizenThemes